Zulaikha, Sri Rohyanti.(2011).Mencintai Apa Yang Kau miliki: Mengelola Perpustakaan dengan Menggunakan Perspektif sebagai Pemustaka. In The Keyword: Perpustakaan di Mata Masyarakat. Labibah Zain (ed.), (pp. 155-163). Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan Kota Yogyakarta and Blogfam.com
Dibenakku,
aku selalu saja memikirkan bahwa perpustakaan itu adalah fun, menyenangkan. Dibenakku, yang ada
di perpustakaan itu, aku bisa bermain dan berselancar dengan
informasi-informasi yang kaya di sana. Aku membayangkan, perpustakaan tidaklah
harus dengan koleksi yang banyak, kalau memang belum bisa melakukannya.
Perpustakaan dibenakku, yang menyenangkan itu, bisa diawali dengan melakukan
penggalian data yang bersumber pada koleksi-koleksi yang ada itu. Menurutku, perpustakaan
akan menyenangkan, kalau isi di dalamnya itu semua siap sedia dimanfaatkan oleh
pemustaka (Istilah pemustaka dipakai disini karena memang istulah tersebut
sudah dibakukan dalam Undang-undang Perpustakaan nomor 43 tahun 2007}, yang
menyebutkan bahwa untuk pengunjung, pengguna, pemakai perpustakaan, sekarang
ini dipakai istilah baku dengan sebutan ‘pemustaka’a). Rasa memiliki itu bisa
dibangkitkan dengan melibatkan pemustaka untuk ‘masuk’ dalam system. Masuk ke
dalam lingkaran komunikasi yang dibangun perpustakaan.
Membangun perpustakaan dengan hati
Aku
melihat, bahwa seharusnya, desain perpustakaan dibuat yang ‘sederhana’.
Sederhana disini maknanya nya bukan sekedarnya dan sekenanya, tapi lebih kepada
‘berorientasi kepada pemustaka, bukan berorientasi kepada pustakawan.
koleksinya standarlah, dan dengan staf ya yang smart dan mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi. Aku juga nggak
bisa membayangkan, kalau pustakawan yang ada di perpustakaan itu selalu
menyambut kita dengan muka yang serem, dan dengan jawaban : ”hmm, coba deh di
cari sendiri di rak sebelah sana”…., atau “tidak ada kalau yang dicari itu
mas”….., atau “hmm, yang mana ya koleksi yang dimaksudkan”…
Bagiku,
perpustakaan akan menjadi menyenangkan kalau semua alat-alat yang digunakaan
itu sangat ‘manusiawi’ , seperti sebuah permainan, yang bisa dijalankan dengan
enjoy, tanpa aturan yang rumit dan ‘menyiksa’.
Buatku,
perpustakaan harus memahami artinya berpustaka pagi para pemustakanya, membuat
segala sesuatu mudah adalah hal yang sangat sulit. Membuat sesuatu yang sulit
untuk menjadi mudah bagi pemustaka itulah yang menjadi beban pekerjaan pustakawan.
Dimataku,
pada dalam diri pustakawan, harus ada pribadi sebagai pemustaka, sehingga bisa
‘merasakan’ bagaimana pengalaman berpustaka di perpustakaan. Setiap hari ikut
merasakan menjadi pemustaka yang sedang mencari kebutuhan informasi di
perpustakaan.dengan demikian, pustakawan yang dalam dirinya juga ada sosok
pemustaka, maka akan menjadikan dia sangat dapat menyelami sosok pemustaka yang
akan dia layani. Dengan demikian, apa yang diberikan perpustakaan, tidak ada
yang mubazir tersia-siakan karena tidak memenuhi kebutuhan pemustakanya.
Perpustakaan yang menyenangkan
Kalau
aku, membuat perpustakaan yang fun itu sebnarnya sangat bisa dilakukan.
Memberikan ornament-ornament yang bisa menarik minat baca, membuat seluruh buku
dapat di ‘telan’ habis oleh pemustakanya, itu sudah menjadikan halk yang luar
biasa untuk bisa dikembangkan perpustakaan. Pernah tidak kita membayangkan,
kalau perpustakaan memiliki 500 judul buku, dan kesemuanya diberikan abstrak
dan reviewnya, wah, aku membayangkan, tiap hari tidak akan pernah habis
informasi di baca oleh pemustaka. Abstrak dapat memberikan gambaran yang
nyata tentang isi buku tersebut. Hal itu
akan membantu pemustaka memahami lebih awal buku yang akan dia baca secara
keseluruhan. Sedangkan review berisi kata-kata yang provokatif, yang dapat
memicu gairah kepada bacaan tertentu. Review yang sederhana, lugas, tapi
provokatif. Abstrak dan review tersebut kemudian di tampilkan kepada pemustaka,
dlam bentuk tayangan di monitor ataupun di tempel sebagian pada sudut-sudut
strategis di perpustakaan. Kegiatan ini bisa saja dilakukan oleh semua jenis
perpustakaan,misalnya perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan
khusus bahkan perpustakaan perguruan tinggi. Dan yang harus diingat adalah
penulisan review itu harus diikuti oleh reviewernya. Sangat menarik lagi kalau
review itu dilakukan oleh pemustaka yang ada di dalamnya. Contoh saja misalnya
di perpustakaan sekolah. Seluruh siswa dimintai tugas meminjam buku di
perpustakaan dan dibawa pulang, dalam waktu tertentu dikembalikan lagi ke
perpustakaan dengan menyertakan hasil review, nama reviewer. Pustakawan
nantinya tinggal menginput di database, semua hasil review tersebut dan
menayangkan. Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat menarik. Semua siswa akan
merasa bangga karena hasil tulisan review nya akan di tayangkan dan dibaca oleh
semua orang.
Good design for good library
services
Dimataku,
ada beberapa prinsip yang harus diterapkan dalam membangun sebuah system
perpustakaan. Kalau boleh aku mengatakan dengan menyitir seorang designer
ternama dunia Dieter Rams yang mengatakan bahwa
terdapat 10 prinsip dalam mendesain sesuatu produk yang akan kita
layankan. Pengalaman Dieter Rams ini menurutku sangat cocok sekali menjadi
pegangan semua pustakawan di dunia ini, dalam membangun system perpustakaan.
Good design is innovative.
Desain
yang baik itu adalah yang inovatif. Membuat sesuatu yang inovatif itu tidak
perlu dengan biaya yang mahal. Inovatif itu bermakna tidak hanya tampil berbeda,
berubah ataupun baru, namun menciptakan sesuatu yang lebih baik, yang lebih
jelas, lebih mudah digunakan, yang lebih cepat. Contoh konkrit di perpustakaan
adalah dengan menyajikan informasi yang selalu bsru di setiap harinya, selalu
berbeda di setiap harinya. Tentu saja semakin hari dengan penampilan yang baru,
menjadi lebih mudah di akses oleh pemustaka.
Good design makes product useful
Sebuah
desain yang baik itu berfungsi ‘untuk
digunakan’, ‘untuk dialami, ‘untuk digunakan’. Semua layanan dan produk yang
ada di perpustakaan itu bukan hanya sebagai mercusuar dan menara gading, namun
memang diciptakan untuk digunakan oleh pemustakanya. Apalagi hanya untuk misi
proyek dan gagah gagahan. Hahaha…tidak ada itu di dalam kamus perpustakaan. Sebagai
konsekuensinya, desain yang baik itu adalah berdasarkan penelitian, pemahaman
saat desain itu digunakan atau saat dialami. Perpustakaan bisa melakukan
riset-riset kecil-kecilan dengan cara berdialog dengan pemustaka, menanyai
pemustaka dan masuk ke dalam lingkarang komunikasi pemustaka sehingga di
dapatkan simpulan yang bisa dipakai sebagai dasar mengambil keputusan tindakan.
Tidak malah membuat desain sesuai dengan maunya pustakawan. Tidak mengikuti
kemauan sekolah atau institusi tanpa melibatkan maunya pemustaka.
Good design is aesthetic
Kalau
dalam perpustakaan kita menginginkan sebuah layanan yang hebat, dengan desain
yang hebat, namun tidak boleh dilupakan bahwa desain tersebut harus tampil
indah. Dan tampil indah tidak serta merta artinya kemudian kita menambahkan
aksesoris yang tidak perlu. Keindahan dapat dicapai dari finishing yang baik,
mengecek grammar, tanda baca, kerapian, simetris. Tampil Indah. Tuhan aja
menyukai keindahan. Pemustaka pun menyukai keindahan dalkam penampilan
perpustakaan. Kalau misalnya perpustakaan membuat review untuk sebuah buku,
maka tampilan review itu dibuat semenarik mungkin, dengan bahasa yang lugas dan
penulisan intonasi yang provokatif, sehingga menarik untuk dibaca.
Good
design makes product understandable
Desain
yang baik adalah intuitif, 'form is function, function is form' . saat kita
melihat bentuknya saja kita menjadi tahu cara menggunakannya atau
mengasosiasikan nya dengan apa kita menggunakannya. Dengan kata lain bahwa desain itu sangat bisa dimengerti
dan mudah dipakai. ”Pemustaka datang untuk dimengerti, tidak untuk dibuat
bingung...”, barangkali ungkapan yang aku tulis itu harus dibawa terus dalam
benak pustakawan ketika mereka melayani pemustaka. Susunan koleksi dan tata
letak rak yang mudah dijangkau dan dimengerti oleh pemustaka, menjadikan
pemustaka betah dan merasa nyaman beerada di perpustakaan.
Good
design is unobtrusive
Adalah
desain yang tidak menonjolkan apapun untuk dibagikan kepada pengguna. Desain
ini malah berbalik menyediakan tempat seluas luasnya bagi penggunanya untuk
mengekspresikan kebutuhannya. Contoh
yang ingin aku ungkapkan adalah betapa nyamannya pemustaka ketika masuk ke
perpustakaan, melihat hamparan luas dan putih bersih dari seluruh ruangan yang
ada. Karena hamparan yang luas itulah yang akan memberikan kesempatan pikiran
pemustaka berekspresi. Hamparan luas ruangan dan tidak diusik oleh banyaknya
meja kursi yang bertumpuk-tumpuk, membuat pemustaka bisa segar dan leluasa
berpikir, berkespresi serta dengan leluasa bisa menuangkan ide-ide smart nya di
perpustakaan. Berbeda dengan ruangan yang sumpek, tidak teratur dan berjibun
barang yang tidak berguna ada di sana, membuat pemustaka akan lari
terbirit-birit keluar dari perpustakaan dan tidak mau lagi datang ke
perpustakaan. Karena kedatangan ke perpustakaan hanya akan menambah masalah
bagi kehidupannya. Nah, kita harus menghindari hal yang demikian.
Good
design is honest
Desain
yang baik itu harus jujur. Desain yang tidak menampilkan sesuatu yang lain dari
yang seharusnya yang ditampilkan, yang mungkin agak kurang misalnya. Kalau kita hanya dapat menampilkan satu fungsi maka tidak
diperlukan object lain yang perlu hadir disitu. Kadang, kita meninabookkan pemustaka
dengan memberi 'asesoris' yang tidak begitu penting di perpustakaan dan
melupakan kebutuhan pokok dari pemustaka. ’Asesoris' itu perlu,namun ada yang
lebih perlu lagi di benahi, sehingga tidak hanya mencoba 'melupakan' kebutuhan
pokok pemustaka, dengan menggiring mereka kepada 'kenyamanan semu' yang
sebenarnya bukan itu tujuan utama pemustaka datang ke perpustakaan. Kalau aku
ambil contoh seoang arsitek yang akan mendesain pepustakaan, sebensrnya arsitek
itu tidak mendesain gedung, namun mendesain perilaku pemakai gedung
pepustakaan. Hal itu menandakan ada kejujuran dalam mendesain sistem di
perpustakaan.
Memaksakan sesuatu harus ada di perpustakaan untuk
diberikan kepada pemustaka, padahal jelas-jelas pemustaka tidak membutuhkannya,
malah akan membuat pemustaka tidak menjadi betah dan suka dengan perpustakaan.
Perpustakaan sudah tidak jujur lagi kepada pemustaka.
Good design is long lasting
Adalah bagaimana membuat desain yang punya relevansi yang
tinggi pada kegunaan sehingga tetap relevan digunakan walau pengguna telah
mengalami perubahan selera terhadap teknologi, usia, fashion. Kalau melihat
generasi kemajuan teknologi sekarang ini, yang kebanyakan menggunakan system
barcode dalam proses peminjaman dan transaksi informasi di perpustakaan, maka
sistem barcode ini harus bisa mengikuti zaman dimana teknologi terus bergerak.
Good
design is thorough, down to last detail
Inti
dari prinsip desain ini adalah konsisten. Semua yang terkait dengan layanan
perpustakaan haruslah konsisten. Ketika aku datang ke perpustakaan sekarang,
maka aku akan mendapati system yang sama dan konsisten ketika aku sebulan lagi
aku datang. Tidak menggunakan prinsip ‘esok dhele sore tempe” atau pagi
kedelai, sorenya tempe. Plin plan. Konsistensi pola dalam sebuah desain, sangat
di perlukan oleh pemustaka, sehingga pemustaka tidak merasa bingung.
Konsistensi ini adalah hal yang sangat penting bagi pemustaka untuk memahami
environment desain yang kita berikan.
Konsistensi
pola ini bisa dilihat dari letak atau posisi dimana Countre layanan peminjaman
dan counter OPAC berada. Tidak sehari dipindah di depan, hari besuk sudah dipindah
di samping kiri, dan keesokannya lagi, sudah di pindah di sebelah kanan.
Good design
is environmentally-friendly
Aku
memahami desain ini adalah desain yang ‘ramah kepada pemutaka”. Kalau dalam
bahasa ilmu perpustakaan itu ada aspek egonomis di sana. Semua yang ada di
perpusutakaan, termasuk peralatannya, ‘ramah’ dengan tubuh kita, dengan otot
tangan kita dan dengan posisi badan kita. Contoh yang paling sepele yang bisa
kita lihat adalah ketika kita mengoperasionalkan OPAC/Online Public Access
Catalog di perpustakaan, maka apakah desain tersebut membuat kita memaksa kita
memindahkan mouse sehingga otot tangan kita bekerja lebih sering, ataukah
kepala kita menjadi pening mencari dan memperhatikan label punggung buk yang
ada di pepustakaan karena posisi letak buku sangat rendah dari posisi badan
kita.
Good
design is little as possible
Artinya
sangat jelas bukan bermaksud simplicity atau memilih desain sesederhana
mungkin, bukan itu. Namun bagaimana mengadakan desain yang terlihat sederhana
mungkin karena hal-hal yang kompleks dikerjakan dibelakang, tidak tampak oleh
pemustaka. Contoh yang selalu bisa kita lihat di perpustakaan adalah ketika
kita mengakses informasi di OPAC/, Online Public Access Catalog, maka kita,
pemustaka tidak perlu disibukkan dengan mengklik sana mengklik sini dan sulit
menemukan informasi yang sedang dia cari karena masih harus menggabungkan kata
satu dengan kata yang lain. Biarkanlah
pemustaka merasa nyaman ketika mengakses informasi langsung bisa menemukan,
tanpa harus melalui tahapan-tahapasn yang rumit. Kita harus ingat makna otomasi
itu adalash otomatis, semua dikerjakan dibalik mesin komputasi, dan bukan
pemustaka yang mengerjakannya. Jangan membiarkan pemustaka terlalu lama
berselancar tanpa mendapatkan hasil yang benar-benar dia butuhkan. Membuat
bagaimana
agar pemustaka sedikit mungkin bertanya, sedikit mungkin searching, namun
langsung mudah menemukan informasi yang dibutuhkannya.
Pustakawan
Aku
pernah menuliskan di jejaring social facebook, yang menggambarkan bagaimana
sebenarnya pustakawan itu. Aku menggambarkannya sebagai berikut :
“…Aku
adalah seorang ibu, karena aku merawat anak, bukan karena aku seorang perempuan
yang ada di rumah. Aku adalah seorang guru, karena aku mengajar murid, bukan
karena aku berada di sekolah…”
Selanjutnya,
aku juga menulis bahwa :
“…Aku
adalah pustakawan, karena aku melayani pemustaka, bukan karena aku berada di
perpustakaan. Seseorang disebut pustakawan, bukan cuma karena ada di
perpustakaan, bisa ini dan itu; satpam pun bisa. Namun seseorang disebut
pustakawan ketika ia berguna bagi pemustakanya. Berpotensi bagi pemustakanya…”
Menurutku,
object Pustakawan adalah Pemustaka, sedang Perpustakaan adalah karya Pustakawan
untuk Pemustaka. Kalau seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan potensi
Pemustaka, maka mohon tidak menyebut dirinya sebagai Pustakawan.
Customer Focus Group
Menurutku,
untuk mengatasi ‘hubungan atnara pemustaka dan pustakawan, dan
mengimplementasikan sebuah desain produk layanan yang bagus bagi pemustakanya,
maka sebaiknya memang pepustakaan berinisiatif mengadakan “customer focus group”.
Di dalam forum itu, akan dapat
didengarkan apa saja yang dirasakan oleh pemustaka. Melakukan “customer
focus group” kepada pemustaka itu sangat diperlukan. menerima masukan dan
mengambil tindakan solusi. tidak hanya sekedar mengadakan 'layanan-layanan'
tanpa menggunakan dasar pertimbangan dari pemustaka. Seperti moto yangt selalu
aku tuliskan dalam facebook ku di about me bahwa "we listen, we want you
to know that we are listening..."
Aku
menyadari bahwa 90 % isi dari perpustakaan itu adalah pemustaka. Maka kenapa
kita tidak libatkan pemustaka supaya bisa lebih memiliki rasa ‘handarbeni’
perpustakaan.
Disitulah
aku benar-benar menemukan experience
pemahaman baru tentang perpustakaan. Dan itulah kenapa, aku bangga dengan
perpustakaan. I love you full, library.