A. Pendahuluan
Seperti diketahui bersama bahawa perpustakaan
berperan menyediakan dan menyebarkan informasi kepada pemustakanya.
Perpustakaan membantu memberikan solusi-solusi permasalahan yang di hadapi
pemustaka terkaait dengan kebutuhan informasi dalan kehidupannya. Oleh sebab
itu, perpustakaan selalu berupaya menyediakan seluruh sumber-sumbe informasinya
kepada pemustaka, termasuk sumber-sumber rujukan ayang ada di perpustakaan.
Sumber-sumber rujukan akan dapat di maksimalkan
penggunaannya, apabila sudah barang tentu, dilayankan dengan maksimal juga oleh
pustakawannya. Eksplorasi terhadap seluruh sumber-sumber rujukan, dapat di
lakukan apabila terdapat kerjasama yang baik antara pustakawan dengan
pemustakanya.
Pustakawanlah yang seharusnya mengetahui layanan apa
yang perlu mereka berikan kepada pemustaka supaya pemustaka puas dan pada
akhirnya menjadikan pustakawan sebagai partner belajar. Hal ini dapat dilakukan
melalui interaksi rutin dengan pemustaka dan melakukan analisis kebutuhan pemustaka
untuk mencapai kepuasan.
Supaya terjadi interaksi yang harmonis, dan supaya
pemanfaat sumber-sumber rujukan bisa di maksimalkan seperti juga harapan oleh
Ranganathan, maka perlu sikap asertif bagi pustakawannya dalam berinteraksi di
perpustakaan. Mengasah kemampuan social dan mempertajam kemampuan asertif akan
membuat pustakawan menjadi agen
perubahan.
B. Jasa Layanan Sumber-sumber
Rujukan
Peran jasa rujukan di perpustakaan satu dengan yang lain
berbeda-beda, sangat tergantung dengan besar kecilnya perpustakan, jenis
koleksinya dan fungsi serta tradisi perpustakaan. Sulistyo-Basuki[1]
mengatakan bahwa jasa rujukan di perpustakaan satu dengan yang lain
berbeda-beda tergantung dengan beberapa faktor antara lain : situasi lokal,
tradisi lokal, jenis pemakai, besar klecilnya perpustakaan, sumber pustaka yang
tersedia, serta pandangan hidup pustakawan yang menyangkut organisasi dan administrasi perpustakaan. Sedangkan menurut Prytherch [2]mengatakan
bahwa “refrence work” is that branch of the library’s services which includes
the assistance given to readers in their search for information on various
subjects. Yang artinya adalah bahwa jasa referensi adalah sebuah jasa yang
merupakan bagian dari sebuah perpustakaan
yang memberikan bantuan kepada pengguna perpustakakan (bantuan jenis
apapun) dalam rangka membatu mencarikan informasi bagi penggunanya.
Dan
berbagai jenis jasa rujukan yang lazim dilaksanakan di sebuah perpustakaan,
antara lain adalah :
1. Pinjam
antar perpustakaan
2. Tandon
(reservation)
3. Orientasi
perpustakaan dan instruksi bibliografi
4. Kunjungan
perpustakaan bagi anggota baru
5. Menyelenggarakan
pameranJasa bimbingan pembaca
6. Jasa
penmgindeksan dan abtrak
7. Kompilasi
bibliografi
8. Pembuatan
kliping
Sementara
menurut American Library Association – Reference Service Division menyatakan
ada 2 jenis jasa rujukan yaitu jasa langsung dan jasa Tidak Langsung. Jasa
rujukan langsung adalah merupakan kegiatan pemberian bantuan personil langsung
diberikan kepada pemakai perpustakaan, artinya pustakawan langsung membantu
mencarikan informasi. Sedangkan jasa rujukan tidak langsung dapat berupa
penyusunan katalog, bibliografi, bantuan rujukan lainnya, pemilihan dokumen,
penyusunan bagian referensi, pembuatan jajaran informasi relevan serta yang
lainnya. Seperti dijelaskan oleh Samuel
Rothstein dalam Bopp E, Richard[4]
bahwa :
…I represent
reference work to be the personal assistance given by the librarian to
individual readers in pursuit of information; reference service I hold to imply
further the definite recognition on the part of the library of its
responsibility for such work and a specific organization for that purpose. In
short, we are willing to give help and what is more, consider such help an
important enough part of our obligations to justify training and assigning
staff especially for this work…
Di
dalam konteks kalimat tersebut jelas di sebutkan bahwa pekerjaan jasa rujukan
di perpustakaan terfokus pada penyediaan pendampingan kepada pemustaka secara
personal dan pemustaka secara kelompok.
Fungsi-Fungsi Referensi
Agar pelayanan referensi dapat berjalan dengan baik,
petugas perlu memahami terlebih dahulu fungsi-fungsi referensi, yakni sebagai
berikut.
1. Fungsi
Pengawasan
Petugas
referensi dapat mengamati pengunjung, baik dalam hal kebutuhan informasi yang
diperlukan maupun latar belakang sosial dan tingkat pendidikannya agar dapat
menjawab pertanyaan dengan tepat.
2. Fungsi
Informasi
Fungsi
yang terpenting dari pelayanan referensi adalah memberikan informasi kepada
pengunjung, yaitu memberikan jawaban terhadap pertanyaan singkat maupun
penelusuran informasi yang luas dan mendetail sesuai kebutuhan pemakai.
3.
Fungsi Bimbingan
Petugas
referensi harus menyediakan waktu guna memberikan bimbingan kepada pengguna
perpustakaan untuk menemukan bahan pustaka yang dibutuhkan, misalnya melalui
katalog perpustakaan, buku-buku referensi, serta bahan pustaka lainnya.
4. Fungsi
Instruksi
Pemberian
instruksi yang dimasudkan adalah sebagai cara untuk memperkenalkan kepada
pemakai tentang bagaimana menggunakan perpustakaan yang baik. Di samping itu,
ditujukan juga kepada usaha untuk menggairahkan dan meningkatkan penggunaan
perpustakaan.
5. Fungsi
Bibliografis
Petugas
referensi perlu secara teratur menyusun daftar bacaan atau bibliografi untuk
keperluan penelitian atau mengenal bacaan yang baik dan menarik. Penyusunan
bibliografi lazimnya dipergunakan untuk beberapa tujuan, antara lain:
a. menyusun
bibliografi tentang subjek tertentu,
b. menyusun
bibliografi untuk mengenal daftar bacaan yang baik dan menarik, karya tulis,
atas permintaan guru, siswa atau orang lain yang memerlukannya.[5]
Terkait dengan penelusuran rujukan di perpustakan,
prinsip yang harus dipegang pustakwan adalah semua untuk kepentingan pemustaka.
Seperti yang dikemukakan oleh Lancaster (1979) disebutkan bahwa temu balik
informasi ialah proses penelusuran suatu koleksi dokumen (dalam arti yang
seluas-luasnya) untuk mengidentifikasi dokumen-dokumen tentang subjek tertentu.
Dan sistem temu kembali informasi adalah setiap sistem yang dirancang untuk
memudahkan kegiatan penelusuran bagi pemustaka.
C. Kompetensi
Pustakawan
Mengawali dari diskusi dalam kompetensi pustakawan,
akan diuraikan terlebih dahulu mengenai pengertin pustakawan. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, Pustakawan diartikan sebagai orang yang bergerak di bidang
perpustakaan; ahli perpustakaan (tanpa membedakan PNS ataupun Non PNS). [6]
Jabatan Fungsional Pustakawan telah diakui
eksistensinya dengan terbitnya Keputusan Menteri Negara Pendayaan Aparatur
Negara (MENPAN) Nomor 18 tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan
Angka kreditnya. Kemudian dilengkapi dengan Surat Edaran Bersama (SEB) antara
Kepala Perpustakaan Nasional RI dan Kepala Badan Kepegawaian.[7].
Sementara itu, di dalam Kode Etik Pustakawan, dikatakan bahwa pustakawan itu
adalah adalah seorang yang menyelenggarakan kegiatan perpustakaan[8]
dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga
induknya berdasarkan ilmu yang dimiliki melalui pendidikan.[9]
Dalam undang-undang disebutkan juga bahwa pustakawan itu adalah seseorang yg
memiliki kompetensi yg diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan
kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab unt melaksanakan
pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.[10]
Arti umum dari kompetensi adalah bidang pekerjaan
dan pengabdian tertentu, yang karena hakikat dan sifatnya membutuhkan
persyaratan dasar, ketrampilan teknis, dan sikap kepribadian tertentu.[11]
Atau dikatakan sebagai sejenis pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang untuk
melaksanakannya dg baik memerlukan ketrampilan dan/atau keahlian khusus yang
diperoleh dari pendidikan dan/atau pelatihan secara berkesinambungan sesuai dg
perkembangan bidang pekerjaan atau lapangan kerja yg bersangkutan.[12]
Namun dengan adanya Undang Undang
tentang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007 telah menumbuhkan harapan baru bagi
tenaga perpustakaan di lembaga swasta. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan
bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan perpustakaan, bagaimanapun
pustakawan tidak dapat lepas dari peran sebagai mahluk sosial yang selalu berhubungan
dengan siapapun kapanpun di mana pun. Beberapa
ketrampilan yang harus dimiliki profesi pustakawan, antara lain [13]:
1)
Pustakawan
hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang.
2)
Pustakawan
adalah mitra intelektual yang memberikan jasanya kepada pemakai. Jadi seorang
pustakawan harus ahli dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan
pemakai.
3)
Seorang
pustakawan harus selalu berpikir positif.
4)
Pustakawan tidak
hanya ahli dalam mengkatalog, mengindeks, mengklasifikasi koleksi, akan tetapi
harus mempunyai nilai tambah, karena informasi terus berkembang.
5)
Pustakawan sudah
waktunya untuk berpikir kewirausahaan. Bagaimana mengemas informasi agar laku
dijual tapi layak pakai.
6)
Ledakan
informasi yang pesat membuat pustakawan tidak lagi bekerja hanya antar sesama
pustakawan, akan tetapi dituntut untuk bekrjasama dengan bidang profesi lain
dengan tim kerja yang solid dalam mengelola[14]
7)
siap atau tidak
siap para pustakawan harus ikut bermain di era global sekarang ini. Para
penikmat internet atau mereka yang lebih suka berselancar di dunia maya harus
dijadikan mitra kerja kita.
8)
pustakawan saat
ini bukanlah penjaga koleksi tapi penyedia informasi, media informasi semakin
beragam
9)
pustakawan wajib
untuk memberikan layanan prima terhadap pemustaka; menciptakan suasana
perpustakaan yang kondusif; dan memberikan keteladanan dan menjaga nama baik
lembaga dan kedudukannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya
Terkait dengan kompetensi pustakawan, kompetensi
dapat dijelaskan sebagai kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu
pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan, dan pengetahuan serta
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. [15]
Kompetensi dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
a.
Tipe kompetensi
pertama yang disebut dengan “soft competency”. Tipe kompetensi ini berkaitan
erat dengan kemampuan untuk mengatur proses pekerjaan dan berinteraksi dengan
orang lain. Yang termasuk dalam soft competency diantaranya adalah kemampuan
manajerial, kemampuan memimpin (kepemimpinan), kemampuan komunikasi, dan
kemampuan membangun hubungan dengan orang lain (Interpersonal relation).
b.
Tipe kompetensi
yang kedua yaitu “hard competency”. Tipe kompetensi kedua tersebut berkaitan
dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan
dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh
hard competency di bidang perpustakaan antara lain kemampuan untuk mengklasir,
mengkatalog, mengindek, membuat abstrak, input data, melayani pemustaka,
melakukan penelusuran informasi dsb.
The Special
Library Association membedakan kompetensi menjadi
kompetensi profesional dan kompetensi personal/individu.[16]
a.
Kompetensi
profesional adalah kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan pustakawan di
bidang sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen, dan penelitian, dan kemampuan
menggunakan pengetahuan tersebut sebagai dasar untuk menyediakan layanan
perpustakaan dan informasi. Kompetensi profesional yang seharusnya dimiliki
oleh pustakawan :
1)
memiliki
pengetahuan keahlian tentang isi sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan
untuk mengevaluasi dan menyaring sumber-sumber tersebut secara kritis.
2)
memiliki
pengetahuan tentang subjek khusus yang sesuai dengan kegiatan organisasi
pelanggannya.
3)
mengembangkan
dan mengelola layanan informasi dengan baik, accessable (dapat diakses dengan
mudah) dan cost-effective (efektif dalam pembiayaan) yang sejalan dengan aturan
strategis organisasi.
4)
menyediakan
bimbingan dan bantuan terhadap pengguna layanan informasi dan perpustakaan.
5)
memperkirakan
jenis dan kebutuhan informasi, nilai jual layanan informasi dan produk-produk
yang sesuai kebutuhan yang diketahui.
6)
mengetahui dan
mampu menggunakan teknologi informasi untuk pengadaan, pengorganisasian, dan penyebaran
informasi.
7)
mengetahui dan
mampu menggunakan pendekatan bisnis dan manjemen untuk mengkomunikasikan
perlunya layanan informasi kepada manajemen senior.
8)
mengembangkan
produk-produk informasi khusus untuk digunakan di dalam atau di luar lembaga
atau oleh pelanggan secara individu.
9)
mengevaluasi
hasil penggunaan informasi dan menyelenggarakan penelitian yang berhubungan
dengan pemecahan masalah-masalah manajemen informasi.
10)
secara
berkelanjutan memperbaiki layanan informasi untuk merespon perubahan kebutuhan.
11)
menjadi anggota
tim manajemen senior secara efektif dan menjadi konsultan organisasi di bidang
informasi.
b.
kompetensi
personal adalah kompetensi yang menggambarkan satu kesatuan keterampilan,
perilaku dan nilai yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif,
menjadi komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dapat
memperhatikan nilai lebihnya, serta dapat bertahan terhadap perubahan dan
perkembangan dalam dunia kerjanya. Sedangkan kompetensi personal/individu bagi
pustakawan meliputi :
1)
memiliki
komitmen untuk memberikan layanan terbaik.
2)
mampu mencari
peluang dan melihat kesempatan baru baik di dalam maupun di luar perpustakaan.
3)
berpandangan
luas.
4)
mampu mencari
partner kerja.
5)
mampu menciptakan
lingkungan kerja yang dihargai dan dipercaya.
6)
memiliki
ketrampilan bagaimana berkomunikasi yang efektif.
7)
dapat
bekerjasama secara baik dalam suatu tim kerja.
8)
memiliki sifat
kepemimpinan.
9)
mampu
merencanakan, memprioritaskan dan memusatkan pada suatu yang kritis.
10) memiliki
komitmen untuk selalu belajar dan merencanakan pengembangan kariernya.
11) mampu
mengenali nilai dari kerjasama secara profesional dan solidaritas.
12) memiliki
sifat positif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan.
Kompetensi pustakawan
bias berjalan dengan baik dan sesuai standar jika semua sistem mendukung dan
mensupport implementasi kompetensi tersebut.[17]
Pihak-pihak terkait, semua saluran komunikasi akan membantu memperlancar wujud
dari kompetensi pustakawan.Tiga pihak yang mempunyai kepentingan terhadap
standar kompetensi pustakawan [18]:
- Pertama adalah perpustakaan.
Bagi perpustakaan, standar kompetensi pustakawan dapat dipergunakan
sebagai pedoman untuk merekrut pustakawan dan mengembangkan program
pelatihan agar tenaga perpustakaan mempunyai kompetensi atau meningkatkan
kompetensinya.
- Kedua adalah lembaga penyelengara
sertifikasi pustakawan. Bagi lembaga sertifikasi pustakawan, standar
kompetensi pustakawan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan
penilaian kinerja pustakawan dan uji sertifikasi terhadap
pustakawan.
- Sedangkan pihak ketiga adalah
pustakawan. Bagi pustakawan standar kompetensi pustakawan dapat
dipergunakan sebagai acuan untuk mengukur kemampuan diri untuk memegang
jabatan pustakawan.
Dari uraian di atas, menjadi
pustakawan yang mempunya kompetensi itu bias dilalui dengan berbagai cara,
beragam usaha dengan terukur dan teruji, sehingga dapat mewujudkan profesi yang
handal buat pemustakanya di perpustakaan.
D. Pustakawan
Asertif
Interaksi pustakawan dengan pemustaka dalam menuangkan
kerjasama dalam kegiatan pencarian
sumber-sumber informasi
referensi, membutuhkan keterampilan kepribadian antara pemustaka dan
pustakawan. Keterampilan sosial menjadi salah satu syarat wajib bagi interaksi
di perpustakaan, disamping syarat-syarat yang lain yang juga harus ada.
Keterampilan Sosial (Social Skills)
adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi
dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim.[19]
Sebagai ilustrasi
mengenai pengertian keterampilan sosial, pada sekitar tahun 1970an, di tengah
maraknya protes mahasiswa sedunia menentang Perang Vietnam, seorang pustakawati
di sebuah kantor US Information Agency
diluar negeri menerima kabar buruk : sekelompok mahasiswa mengancam akan membakar
perpustakaannya. Reaksinya sepintas nampak konyol, tapi hasilnya luar biasa,
pustakawati ini justru mengundang kelompok yang mengancam tesebut untuk
mengancam tersebut untuk menggunakan fasilitas perpustakaan sebagai ajang
pertemuan-pertemuan mereka, maka
terjadilah dialog bukan konfrontasi. Dalam berbuat demikian, pustakawan ini
memanfaattkan hubungan pribadinya dengan beberapa tokoh mahasiswa setempat yang
cukup daapat dipercaya dan mempercayainya. Langkah tersebut membuahkan terbukanya saluran-saluran baru
yang saling memahami dan ini mempengaruhi perdahabatannya dengan para tokoh
mahasiswa. Perpustakan itu selamat. Pustaakwati tersebut jelas memperagakan
keahliannya sebagai negosiator, penengah, atau agen perdamaian yang sangat
hebat, yang mampu membaca memuncaknya ketegangan, mendadaknya perubahan
situasi, kemudian mengelola tanggapan dengan menyatukan semua orang bukannya
saling mempertentangkannya. Kantor terhindar dari kerusakan seperti yang
menimpa kantor-kanntor perwakilan Amerika lain yang dipimpin oleh orang-orang
yang kurrang memiliki keterampilan sosial.[20]
Dari sumber yang lain di sebutkan bahwa keterampilan
sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara-cara
yang dapat diterima secara sosial dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun
orang lain secara timbal balik.[21]
Keterampilan sosial (Social Skills) itu intinya adalah
kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri untuk berinteraksi dengan diri
sendiri, orang lain, dan lingkungannya secara baik.
Sebagai sebuah sumber informasi,
perpustakaan juga merupakan suatu instansi pendidikan non formal yang
menyediakan koleksi dan informasi yang beraneka ragam dan berguna untuk
mengubah cara berpikir, bertingkah laku dan berperasaan dalam menghadapi proses
kehidupan yang terus berubah. Fungsi inilah yang menjadi kunci atau rujukan
pustakawan dalam menjalankan tugasnya, dimana pustakawan tidak cukup hanya
menyediakan akses informasi, tapi juga menjadikan informasi tersebut bermanfaat
bagi pemustaka dalam rangka mencapai masyarakat cerdas dan berpikir kritis,
menuju masayarakat yang ‘independent learners’.
Perilaku asertif bagi pustakawan
merupakan hal yang sangat penting dalam berhubungan interpersonal dalam
melaksanakan pekerjaan sehari-hari di perpustakaan. Tugas pustakawan tidak
dapat dipisahkan dari tugas dan fungsi perpustakaan sebagai lembaga penyedia
dan pengelola informasi yang bertugas untuk memberikan akses seluas-luasnya
bagi pemustakanya untuk mendapatkan
informasi yang tepat secara efisien. Tugas tersebut mengharuskan para
pustakawan mempertinggi sikap asertif. Kemampuan berinteraksi merupakan hal utama
dalam memberikan layanan informasi sumber-sumber rujukan di perpustakaan.
Segala aktifitas di perpustakaan berkaitan erat dengan kemampuan berinteraksi,
baik antar pustakawan maupun antara
pustakawan dan pemustaka.
Salah satu teknik berinteraksi yang
sangat tepat dimiliki pustakawan adalah perilaku asertif, yaitu kemampuan menerapkan strategi
berkomunikasi yang tepat sesuai karakter pemustakanya. Perilaku asertif
menyangkut ekspresi pikiran, perasaan yang positif dan berkaitan dengan
ekspresi perasaan negative. [22]
Perilaku asertif ini merupakan pengembangan diri yang positif. Menurut Docker [23],
dikatakan bahwa perilaku asertif meruapakan perilaku yang jujur, langsung dan
ekspresi yang penuh penghargaan terhadap pikiran, perasaan dan keinginan dengan
mempertimbangkan perasaan dan hak-hak orang lain. Inti dari perilaku asertif
adalah kemampuan mempertahankan hak, kemampuabn mengekspresikan diri, langsung,
terbuka dan jujur serta menghargai hak orang lain. Pernyataan tegas pustakawan[24]
dalam meng’handle’ segala layanan
informasi sumber-sumber rujukan di perpustakaan.
Pustakawan yang menerapkan interaksi asertif
memiliki ciri-ciri kemampuan mempertahankan hak-haknya tanpa mengorbankan hak
orang lain, seelalu berinteraksi berdasarkan “saling menghargai” dan selalu
berusaha menemukan jalan keluar untuk kepentingan bersama, menjadi pendengar
aktif, objektif dan tidak emosional dalam menghadapi pemustakanya, memiliki
kekuatan personal dan mau berbagi kekuatan yang dimiliki dengan orang lain, mendapatkan
‘respect’, dukungan dan diterima
dengan positif oleh lingkungan dan memiliki “good sense of humor” serta siap menanggung resiko yang mungkin
timbul dari pekerjaan pustakawan, dan menjadi bertanggung jawab, memiliki
integritas dan kebebasan berpendapat dan berdiskusi dengan pemustaka.
Jakubowski, 1973 dalam Caputo
menjelaskan bahwa orang-orang cenderung
lebih nyaman menerima kenyataannya adanya hak yang paling mendasar dalam diri
manusia, yaitu hak asertif, hak interpersonal. Dengan demikian, setiap orang yang
ada di perpustakaan akan menjalin interaksi yang asertif akan menghasilkan
hubungan yang harmonis antara pustakawan dan pemustakanya, dimana masing-masing
pihak dapat saling memahami dan menghargai sehingga lebih memudahkan untuk
memecahkan suatu permasalahan.
E. Penutup
Perilaku asertif bagi pustakawan merupakan hal yang
sangat penting dalam berhubungan interpersonal dalam melaksanakan pekerjaan
sehari-hari di perpustakaan. Tugas pustakawan tidak dapat dipisahkan dari tugas
dan fungsi perpustakaan sebagai lembaga penyedia dan pengelola informasi yang
bertugas untuk memberikan akses seluas-luasnya bagi pemustakanya untuk mendapatkan informasi yang tepat secara
efisien. Tugas tersebut mengharuskan para pustakawan mempertinggi sikap
asertif. Kemampuan berinteraksi merupakan hal utama dalam memberikan layanan
informasi sumber-sumber rujukan di perpustakaan. Segala aktifitas di
perpustakaan berkaitan erat dengan kemampuan berinteraksi, baik antar pustakawan maupun antara pustakawan dan
pemustaka. Dengan demikian, atmosfer layanan informasi sumber-sumber rujukan di
perpustakaan akan bisa di manfaat secara maksimal oleh pemustaka.
F. Daftar Pustaka
Ahmad. Profesionalisme
Pustakawan di Era Global. Makalah dalam Rapat Kerja IPI XI, Jakarta: 5-7
November, 2001.
ALA. Glossary of library and information
science. 1983. Chicago : American Library Association.
Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, hal 85.
Apostle,
Richard and Boris Raymond. Librarianship and the information paradigma.
Lanham, Md. & London : The Scarecrow Press, 1997.
Bopp, E. Richard and Linda C. Smith.
1995. Reference and Information Services.
Englewood Colorado : Libraries Unlimited, hal 3.
Buckland, Michael. 1992.
Redesigning Library Services ; A Manivesto. London : Library association.
Caputo, S. Janette. 1984. The assertive Librarian. Canada, Oryx
Press,
Djatin, Jusni. Penelusuran Literatur. 1996 Jakarta
: Universitas Terbuka.
Forum kajian Budaya dan Agama.
2000. Kecerdasan dan Emosi dan Quantum
Learning. Yogyakarta : Forum
Hermawan S., Rachman dan Zulfikar
Zen. 2006. Etika Kepustakawanan.
Jakarta: Sagung Seto.
Kamus Umum Bahasa Indonesia.
1990. Jakarta : Balai Pustaka.
Kartini. 2008. “Kebijakan Pengembangan
Pustakawan”. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengembangan Pustakawan dan Tim
Penilai, tanggal, 23 – 24 Juli 2008
Katz, William A.
1982. Introduction to reference
guide I & II. New York : McGraw-Hill.
Katz, William. 1979.
Your Library : A Reference Guide. New York : Holt, Rinehart and Winston.
Keputusan Menteri Negara Pendayaan
Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18 tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional
Pustakawan dan Angka kreditnya.
Kismiyati, Titik, 2008. Kompetensi
Pustakawan Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional
FPPTI, Seminar Ilmiah, dan Workshop, tanggal 21 Agustus 2008, di Cibogo, Bogor.
Kode Etik Pustakawan dalam Kiprah Pustakawan.
Jakarta: IPI, 1998.
Lembaga
Pemberdayaan Perpustakaan dan Informasi. 2001.Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan. Yogyakarta : LpPI dan
FkBA.
Munthe, Bermawi. 2010. Sukses di Perguruan Tinggi. Yogyakarta :
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendit, Putu Laxman. 1992. “Kepustakawanan
Indonesia : Potensi dan Tantangan”. Jakarta : Kesaint Blanc
Prytherch 1995.
Harrod’s Librarians’ Glossary : 9000 terms used in information management,
library science, publishing, the book trades and archive management. England :
Gower.
Rice, James, Jr.
1981.Teaching Library Use : A Guide For Library Instruction. London : Greenwood
Press.
Sihabudin,
Urip. “Rapat Evaluasi Layanan Perpustakaan”. 13 Agustus 2008.
Sulistyo-Basuki.
1993. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Supriyanto. “Kompetensi
dan Sertifikasi Profesi Pustakawan:implikasi UU Perpustakaan No.43 Th.2007”
2008
Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007
tentang Perpustakaan. Jakarta : Perpustakaan Nasional.
Wedgeworth, Robert (ed.).1993. World
encyclopedia of library and information services.3rd ed.
Chicago : American Library Association.
Yusman, Dede
Gemayuni. 2006.”Peningkatan Keterampilan Sosial melalui Program Pelatihan
Keterampilan Sosial Pada Anak Usia Sekolah”. Thesis. Jakarta : Universitas
Indonesia.
[3]
Wedgeworth, Robert (ed.).1993. World encyclopedia of library and information
services.3rd ed. Chicago : American Library Association.’,
hal. 448
[4]
Bopp, E. Richard and Linda
C. Smith. 1995. Reference and Information
Services. Englewood Colorado : Libraries Unlimited, hal 3.
[5]
Lembaga Pemberdayaan Perpustakaan dan Informasi. 2001.Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan.
Yogyakarta : LpPI dan FkBA, hal. 123.
[7] Dalam Keputusan Menteri Negara
Pendayaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18 tahun 1988 tentang Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka kreditnya.
[14] Ahmad.
Profesionalisme Pustakawan di Era Global. Makalah dalam Rapat Kerja IPI XI,
Jakarta: 5-7 November, 2001, hal.
[15] Ahmad. 2001. Ibid., hal. 3
[16]
Kartini. 2008. “Kebijakan Pengembangan Pustakawan”. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi
Pengembangan Pustakawan dan Tim Penilai, tanggal, 23 – 24 Juli 2008, hal 4.
[17] Supriyanto. 2008.
“Kompetensi&Sertifikasi Profesi Pustakawan:implikasi UU Perpustakaan No.43
Th.2007” 2008, hal 10.
[18] Kartini. 2008. “Kebijakan
Pengembangan Pustakawan”. Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengembangan
Pustakawan dan Tim Penilai, tanggal, 23 – 24 Juli 2008., hal 6.
[19] Forum kajian Budaya dan Agama.
2000. Kecerdasan dan Emosi dan Quantum
Learning. Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama, hal.50
[21] Yusman, Dede Gemayuni. 2006.”Peningkatan Keeterampilan Sosial melalui Program
Pelatihan Keterampilan Sosial Pada Anak Usia Sekolah”.Thesis. Jakarta :
Universitas Indonesia, hal.28.
[22] Munthe, Bermawi. 2010. Sukses di Perguruan Tinggi. Yogyakarta :
UIN Sunan Kalijaga, hal. 94. Disebutkan juga dalam Hariyadi (2006 : 1), yang
mengatakan bahwa pola interaksi asertif
adalah interaksi yang “paling sehat” dan efektif; memudahkan pemecahan masalah;
mengurangi ‘ledakan emosi’; membutuhkan ‘skills’ dan perubahan pola pikir.
Strategi berinteraksi efektif menjadi sangat penting mengingat karakter
masyarakat kita yang kita layani, dengan
kecenderungan budaya lisan
[24] Caputo, S. Janette. 1984. The assertive Librarian. Canada, Oryx
Press, hal. 3. Disebutkan juga bahwa perbedaan antara assertive, nonassertion
dan aggression. Bahwa assertion is
standing up for your right without violating the right of others. Sementara
itu, non assertive is not standing up for your rights (remaining passive), dan
Aggression is assertion is standing up for your right without concern for (or
conscious avoidance of ) the violation of others rights.
No comments:
Post a Comment