Zulaikha, Sri Rohyanti.(2015). Rekayasa Budaya di Taman Bacaan Masyarakat dalam menumbuhkan Nilai-Nilai Budaya Lokal masyarakat di Yogyakarta sebagai Salah satu Bentuk Keistimewaan Yogyakarta. In Dinamika Kajian Ilmu-ilmu Adab dan Budaya: Bunga Rampai (pp. 253-292). Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
A.
Latar
Belakang
Fenomena
Taman Bacaan Masyarakat sebagai salah satu gerakan dalam menumbuhkan minat baca
masyarakat menjadi budaya baca bagi masyarakat kini mulai tumbuh dan berkembang
serta mendapat tempat yang positif ditengah masyarakat dan didukung oleh
kebijakan pemerintah. Melihat realita
yang ada saat ini, apakah peran Taman Bacaan Masyarakat sudah mampu menjadi salah
satu komponen yang mampu meningkatkan nilai-nilai budaya lokal sebagai salah
satu ciri khas keistimewaan Yogyakarta?
Dengan adanya Dasar Hukum Pengembangan Budaya Baca[1] dan Undang-Undang tentang
perpustakaan[2],
apakah semua permasalahan dalam ruang lingkup gerakan budaya baca dapat teratasi
dan bagaimana langkah pemerintah dalam mengatur peran taman bacaan masyarakat
sebagai salah satu komponen dalam menumbuhkan nilai-nilai budaya masyarakat?
Terkait
juga dengan misi Pemda DIY yaitu “mewujudkan budaya adiluhung yang didukung
dengan konsep, pengembangan budaya, pelestarian dan pengembangan hasil budaya,
serta nilai-nilai budaya secara kesinambungan”, maka disamping upaya
peningkatan budaya baca, diperlukan upaya-upaya yang dapat dilakukan guna
melestarikan nilai-nilai tradisional tersebut, salah satunya adalah melalui perpustakaan dan arsipasi dokumen[3]. Hal ini dikarenakan
perpustakaan dan kearsipan merupakan wujud nyata dalam upaya pentransformasian
nilai-nilai tradisional tersebut
melalui bahan pustaka kepada generasi berikutnya.
Dewasa
ini perkembangan perpustakaan dan kearsipan tidak lepas dari perkembangan
teknologi informasi yang memberikan kemudahan dalam mengelola terutama dalam bidang pengelolaan informasi. Perpustakaan merupakan organisasi publik yang memiliki peran
strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Eksistensi dari
perpustakaan ini muncul karena adanya kebutuhan masyarakat yang beragam.
Sementara itu kearsipan adalah
kegiatan pengolahan arsip mulai dari penciptaan, penerimaan, pengumpulan,
pengaturan, pengendalian, pemeliharaan dan perawatan serta penyimpanan warkat
menurut sistem tertentu agar dapat dipergunakan secara cepat dan tepat.
Kebutuhan masyarakat akan
pengelolaan informasi pada perpustakaan dan kearsipan
makin lama akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu perpustakaan dan kearsipan harus mampu membangun
layanan yang bermutu, yaitu layanan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna yang
meliputi materi, format, waktu, aturan dan pelayanan. Perpustakaan dan
kearsipan harus mampu menjadi media transformasi informasi kepada publik secara
prima dalam rangka menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah informasi
tentang pelestasian budaya dan nilai-nilai budaya masyarakat muslim di
Yogyakarta yang terwujud dalam keistimewaan Yogyakarta dalam nilai-nilai budaya
lokal dengan mengedepankan konsep Iqra yang dimulai dari perpustakaan sebagai
sebuah integrasi interkoneksi rekayasa budaya.
Dengan didasarkan pada latar belakang tersebut, maka
peneliti bermaksud untuk meneliti:(1) Bagaimana peran TBM dalam menerapkan
rekayasa budaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim
di Yogyakarta sebagai sebuah keistimewaan Yogyakarta.(2) Kendala apa yang
dihadapi TBM dalam perannya melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim
di Yogyakarta. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:(1) Untuk
memetakan bagaimana peran TBM dalam menerapkan rekayasa budaya untuk
melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim di Yogyakarta sebagai
sebuah keistimewaan Yogyakarta, (2) Untuk mengetahui kendala apa yang dihadapi
TBM dalam perannya melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim di
Yogyakarta.(3) Memberikan
rekomendasi terhadap kebijakan Pemerintah terhadap peran TBM dalam ikut serta
memberi warna keistimewaan Yogyakarta sebagai heritage country.
Topik
peran perpustakaan dalam mengembangkan TBM sudah banyak dikaji oleh beberapa
peneliti dalam dunia akademik. Akan tetapi untuk penelitian peran TBM dalam
melakukan sebuah rekayasa budaya masih sangat jarang ditemukan. Diantara kajian
yang berkaitan dengan TBM adalah tentang perpustakaan untuk rakyat yang
diteliti oleh Ratih Rahmawati dan Blasius Sudarsono[4]. Dalam penelitian itu dikatakan
bahwa Ada riset dari Sigma KAPPA Indonesia tentang keunikan Yogyakarta.Otoritas
perpustakaan di yogya telah melahirkan kegiatan yang namanya Jogja library
for all. Komunitas-komunitas ‘sinau bareng’ dan komunitas lainnya yang bermunculan, menjadikan Yogyakarta kaya
akan diskusi perpustakaan. TBM sebagai sebuah diskusi budaya, membangun
bagaimana sebuah rekayasa di lakukan agar masyarakat bisa tertarik ‘membaca’
B.
Landasan
Teori
1. Keistimewaan
Yogyakarta
Didasarkan pada dokumen Perencanaan Bappeda
DIY tahun 2013[5],
didalamnya dikatakan bahwa di dalam UUD 1945, dikatakaan bahwa setiap orang
berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Sedangkan di dalam pembukaan
Undang-undang nomor 43 2007 dikatakan bahwa perpustakaan sebagai wahana belajar
sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat dan sebagai wahaya pelestarian
kekayaan budaya bangsa[6]. Lebih lanjut di dalam UU
No. 43 Tahun 2007, dituliskan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama untk memperoleh layanan serta
memanfaatkan dan mendayagunakan
perpustakaan, masyarakat di daerah terpencil, terisolasi atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak
memperoleh layanan perpustakaan secara khusus dan masyarakat yang memiliki
cacat dan/atau kelainan fisik, emosional berhak memperoleh layanan perpustakaan yang
disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing.
Memahami perpustakaan berkaitan dengan
keberadaan Provinsi DIY sebagaimana ditetapkan dalam UU No.13 tahun 2012
tentang penetapan status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta[7], kiranya tidak bisa
dilepaskan dari perangkat pendukung perpustakaan. Perangkat pendukung yang
dimaksud adalah keberadaan UU No.43 tahun 2007 yang menegaskan peran
perpustakaan dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
diamanatkan UUD 1945. UU No.43 tahun
2007 pasal 2 tentang dasar
penyelenggaraan perpustakaan di Indonesia yang menyebutkan bahwa: Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan
asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan,
keterbukaan, keterukuran dan kemitraan. Lebih jauh Pasal 7 ayat 1b
menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban menjamin kelangsungan penyelenggaraan
dan pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat.
Penjelasan tersebut dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan perpustakaan berbasis keistimewaan DIY berhubungan erat dengan
UU No.13 tahun 2012 pasal 7 ayat 1 dan 2c tentang kewenangan DIY sebagai daerah
otonom dalam urusan keistimewaan yang
salah satunya meliputi kebudayaan serta pasal 31 ayat 1 tentang kebudayaan[8]. Kewenangan dalam bidang kebudayaan tersebut
diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa dan
karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni
dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY (Pasal 31 ayat 1). Kewenangan
dalam bidang kebudayaan tersebut menegaskan bahwa pemerintah provinsi DIY dapat
menonjolkan kekhasannya.
Sejalan
dengan kekhasan DIY, Presiden Republik Indonesia dalam UU NO.43 tahun 2007
tentang Perpustakaan memberikan pertimbangan
bahwa perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa
sebagai salah satu upaya untuk memajukan budaya nasional. Menilik dari
penyataan tersebut jelaslah bahwa kehadiran perpustakaan sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari keberadaan budaya setempat di mana perpustakaan itu berada.
Keberadaan budaya, seperti dinyatakan dalam Pasal 31 ayat 1 UU No.13 tahun
2012, salah satunya terekam dalam bentuk naskah-naskah yang biasanya sudah
berumur puluhan bahkan raturan tahun. Naskah-naskah budaya tersebut jika
dikelola dengan baik bersemangatkan keistimewaan akan menjadi sebuah aset yang
sangat berharga dan berdayaguna bagi generasi mendatang dan sekaligus dapat
menjadi salah satu ciri dari keistimewaan DIY. Keberadaan naskah tersebut juga
telah diatur dalam UU No.43 tahun 2007 sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
ayat 4 yang medefinisikan tentang naskah yang termasuk kuno dan bernilai
penting bagi perbendaharaan budaya nasional.
Guna
mendukung keberadaan naskah-naskah budaya
daerah dan budaya nasional tersebut, UU No.43 tahun 2007 mengamanatkan sebagai
berikut: (1) Pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan kepada setiap orang
yang menyimpan, merawat dan melestarikan naskah kuno. Penjelasan: naskah kuno
berisi warisan budaya karya intelektual Bangsa Indonesia yang sangat berharga
dan hingga saat ini masih tersebar di masyarakat dan untuk melestarikannya
perlu peran serta pemerintah (Pasal 7 i), (2) Pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota berkewajiban menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan
umum daerah berdasarkan kekhasan daerah sebagai pusat penelitian dan rujukan
tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya (Pasal 8 f), (3) Pemerintah daerah
berwenang mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah
masing-masing untuk dilestarikan dan didayagunakan (Pasal 10 c) dan (4) Pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan perpustakaan umum yang
koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya masing-masing dan memfasilitasi
terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat (Bab VII pasal 22 ayat 2)[9].
Senada
dengan UU No. 43 tahun 2007, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam
pidato Rapat Paripurna DPRD DIY tentang pemaparan visi, misi dan program kerja
calon gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2017 yang bertema
Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru, menyampaikan bahwa visi pembangunan DIY
berlandaskan filosofi “Hammayu-Hayuning
Bawono”[10].
Filosofi tersebut mengandung makna kewajiban melindungi, memelihara, dan
membina keselamatan dunia. Berdasarkan filosofi tersebut, visi pembangunan DIY
tahun 2025 adalah “Mewujudkan DIY menjadi: Pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah
Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan Masyarakat yang Maju,
Mandiri, Sejahtera”. Visi diterjemahkan
dalam empat misi. Adapun yang berkaitan dengan pengembangan perpustakaan
berbasis keistimewaan tercantum dalam misi kedua: Mewujudkan budaya adiluhung
yang didukung dengan konsep, pengetahuan budaya, pelestarian dan pengembangan
hasil budaya, serta nilai-nilai budaya secara berkesinambungan.
Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur UU[11]. Pasal 7 ayat 2 dikatakan
bahwa Kewenangan urusan keistimewaan tersebut meliputi: tata cara pengisian
jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wagub, kelembagaan pemerintah
daerah DIY, kebudayaan, pertanahan dan
tata ruang. Sedangkan Pasal 31 tentang kebudayaan. Kewenangaan kebudayaan
diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta rasa karsa dan
karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni
dan tradisi luhur yang mengakar kuat
dalam masyarakat DIY .
Terkait
dengan peran perpustakaan dalam menonjolkan sisi keistimewaan, secara jelas perwujudan
misi kedua tersebut disinggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam konsep Renaisans Yogyakarta dan Arah
Renaisans Pendidikan[12]. Adapun Konsep Renaisans
Yogyakarta menyatakan:
“Dengan
mengadopsi Renaisans Eropa dan mengadopsi Renaisans Asia, konsep Renaisans
Yogyakarta harus diawali dengan menggali, mengkaji, dan mengembangkan
sumber-sumber ilmu pengetahuan canggih di bidang konstruksi yang telah
menghasilkan Candi Borobudur dan Prambanan. Bersamaan dengan itu, mencermati
karya-karya susastra seperti Surat Pararaton, Negarakretagama, Centhini,
Wredotomo, Wulangreh dan sebagainya. Dengan cara itu, dapat digunakan untuk
memperkaya nilai-nilai filosofis yang mengajarkan kebajikan bagi bangsa, juga
untuk mencerahkan nalar, agar tercipta kondisi kondusif berkembangnya seni dan
sains, seperti sejarah Renaisans Eropa”
Adapun
Arah Renaisans Pendidikan di DIY bidang perpustakaan menurut Raja Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dapat dicapai melalui program pembinaan dan
pengembangan perpustakaan, pengembangan budaya baca, pengembangan jurnal
internasional serta pengembangan sarana dan prasarana perpustakaan.
Pemerintah
DIY melalui visi-misinya tersebut sangat memperhatikan pelestarian dan
pengembangan hasil budaya. Lebih dari itu, dukungan pemerintah pusat melalui UU
No. 43 tahun 2007 kiranya juga sangat terlihat. Dalam UU tersebut sangat jelas
amanat apa saja yang menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat maupun daerah
berkaitan dengan koleksi-koleksi budaya setempat. UU No. 13 tahun 2012 Pasal 2,
Pasal 7 ayat 2, UU No.43 tahun 2007 dan Visi, Misi & Program Calon Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012-2017 kiranya menjadi dasar bagi
penyelenggaraan perpustakaan di DIY berbasis keistimewaan.
Dalam Undang-undang republik Indonesia no 12 tahun 2012 jelas dikatakan
bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus ata bersifat istimewa yang diatur uu. Diulas juga pada Pasal 7
ayat 2 dikatakan bahwa Kewenangan urusan keistimewaan tersebut meliputi:
a.
Tata cara
pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wagub
b.
Kelembagaan
pemerintah daerah DIY
c.
Kebudayaan
d.
Pertanahan
e.
Tata ruang
Dijelaskan
dalam Pasal 31 tentang kebudayaan, bahwa Kewenangaan kebudayaan diselenggarakan
untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta rasa karsa dan karya yang berupa
nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni dan tradisi
luhur yang mengakar kuat dalam
masyarakat DIY, sedangkan Budaya itu adalah cipta rasa karsa yang mewarnai
kehidupan kita, bukan hanya sekedar tari ataupun seni. semua kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan didasari pada filosofi keistimewaan yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, Sangkan Paraning
Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti, Tahta Untuk Rakyat, Golong-Gilig Sawiji
Greget Sengguh Ora Mingkuh, Catur Gatra Tunggal dengan Sumbu Tugu-Krapyak dan
Pathok Negara
Sasaran
dari pelaksanaan fungsi perpustakaan adalah
terbentuknya masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang
hayat. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, perpustakaan berazaskan pada demokrasi, keadilan, keprofesionalan,
keterbukaan, keterukuran dan kemitraan dengan tujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan
kegemaran membaca, memperluas wawasan dan pengetahuan serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Asas tersebut berkaitan erat dengan
kewenangan DIY sebagai daerah otonom
yang mempunyai wewenang khas dalam bidang kebudayaan dan diselenggarakan
untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang
berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Peran dan fungsi
perpustakaan sebagai pusat budaya dan agen budaya diharapkan dapat memberi
pengaruh bagi masyarakat setempat. Oleh karena mudahnya masyarakat dalam
mengakses dan mengenal kebudayaan itulah diharapkan kemudian akan memahami dan
akhirnya melestarikan hasil budaya (nguri-uri
kabudayan). Ruang-ruang di perpustakaan yang sebelumnya terbatas, menjadi
ruang yang tak terbatas atau tak terlihat (invisibel, maya). Koleksi yang tadinya berupa fisik
mengalami perubahan bentuk menjadi digital yang tak tersentuh. Adalah
perusahaan-perusahaan pengembang teknologi informasi lah yang sebenarnya turut
membantu transformasi perpustakaan dari
bentuk fisik ke bentuk maya (library
without wall). Dari situlah sebenarnya rekayasa budaya terbentuk.
Perpustakaan dengan
pustakawan yang terampil atau kompeten dibidangnya menjadi syarat utama bagi
rekayasa tersebut. Salah satu kompetensi
tersebut kompetensi adminstrasi dimana pustakawan wajib mampu untuk
mengoperasikan komputer dan mampu menerapkan teknologi baru dalam layanan
perpustakaan. Kata kunci dari kompetensi ini adalah mampu menerapka teknologi
baru. Pustakawan yang mampu dalam bidang teknologi dan menerapkan ilmunya untuk
mengemas ulang informasi di perpustakaan dan kemudian menyebarkannya ke seluruh
lapisan masyarakat melalui internet merupakan modal dasar bagi perpustakaan
dalam rangka menyebarluaskan koleksi hasil budaya. Pustakawan yang kompeten,
koleksi (cetak dan digital), dan teknologi yang digunakan serta tampilan laman
perpustakaan yang menarik merupakan perpaduan bagi terselenggaranya proses
penciptaan budaya baru. Dengan
demikian rekayasa budaya yang diterapkan di perpustakaan mampu menciptakan
perpustakaan dengan
sistem yang menarik supaya minat baca masyarakat menjadi meningkat.
Jadi bisa dikatakan bahwa rekayasa budaya[13] ini dilakukan dalam usaha
melakukan perubahan dan perbaikan sesuatu dengan memberi peluang perbaikan
melalui pendekatan budaya, misalnya pendekatan budaya yang berasal dari
mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.
Rekayasa budaya di sini dimaksudkan untuk menjadi peluang untuk
daya tarik di TBM yang ada di Yogyakarta. Rekayasa budaya tersebut dimaknai
dengan format baru yang berorientasi pada pengembangan budaya di Taman Bacaan
Masyarakat yang ada. Rekayasa budaya tersebut tentu saja disesuaikan dengan
kondisi dan lingkungan serta perkembangan zaman, sehingga tetap mengedepankan
nilai tradisional namun tetap relevan dengan zamannya. Bahkan menurut
Kuswasantyo[14] dikatakan
bahwa dalam rekayasa budaya, sangat dibutuhkan langkah-langkah yang tepat agar
tidak menimbulkan persoalan sosial, antara lain dengan memiliki objek yang
menjadi unggulan, menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat sampai kepada
melakukan proses kajian. Rekayasa budaya itulah yang dimaksudkan dalam
penelitian ini, yang diterapkan di dalam proses penyelenggaraan TBM Cakruk
Pintar, TBM Luru Ilmu dan TBM Mata Aksara.
2.
Pengertian
Taman Bacaan Masyarakat
Menurut
Undang-Undang nomor 43 tahun 2007 pasal 22 ayat 1 tentang perpustakaan
disebutkan perpustakaan umum[15] diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, Kecamatan dan Desa
serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat. Sulistyo-Basuki[16] Perpustakaan Umum
merupakan perpustakaan yang diselenggarakan oleh dana umum dengan tujuan
melayani umum dan salah satu kelompok perpustakaan umum adalah perpustakaan
komunitas. Perpustakaan komunitas (community
library) merupakan perpustakaan yang didirikan oleh komunitas tertentu
dengan menyediakan materi perpustakaan umum. Salah satu bentuk perpustakaan
komunitas di Indosesia dikenal dengan nama Taman Bacaan Masyarat (TBM)
Menurut Sutarno[17] Taman Bacaan Masyarakat
pada dasarnya bukanlah sebuah perpustakaan, seperti standar koleksi, standar
sarana dan prasarana, standar pelayanan perpustakaan, standar tenaga
perpustakaan, standar penyelenggarakan dan standar pengelolaan. Taman Bacaan
Masyarakat lebih tepat disebut fasilitas membaca yang berada di tengah-tengah komunitas
(community based library) dan dikelola secara sederhana, dan swadana
oleh masyarakat yang bersangkutan.
Taman
bacaan masyarakat adalah untuk melayani kepentingan penduduk yang tinggal di sekitarnya.
Mereka terdiri atas semua lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang
sosial, ekonomi, budaya, agama, adat istiadat, tingkat pendidikan, umur dan
lain sebagainya. Taman Bacaan Masyarakat
adalah sebuah tempat/wadah yang didirikan dan dikelola baik masyarakat maupun
pemerintah untuk memberikan akses layanan bahan bacaan bagi masyarakat sekitar
sebagai sarana pembelajaran seumur hidup dalam rangka peningkatan kualitas hidup
masyarakat di sekitar TBM[18].
Taman Bacaan
Masyarakat mempunyai tanggung jawab, wewenang, dan hak masyarakat setempat
dalam membangunnya, mengelola dan mengembangkannya. Dalam hal ini perlu
dikembangkan rasa untuk ikut memiliki (sense of belonging), ikut
bertanggung jawab (meluhangrukebi)[19].
Rahmawati[20]
menjelaskan bahwa sejarah TBM Indonesia tidak terlepas dari sejarah
perkembangan perpustakaan. Sejarah mencatat perpustakaan pertama di Indonesia
adalah Batavian Kerkeraad yang dibangun pada tahun 1624. Perkembangan
berikutnya adalah ditemukannya banya persewaan buku yang berkembang antara than
1790-1900 yang dikelola oleh orang Cina peranakan (Iskandar, 1981; Drewes, 1981
dalam Haklev:2008)[21].
Lebih
lanjut Rahmawati[22]
menjelaskan bahwa pada masa itu mulai dikenal istilah “taman pustaka” atau
“taman bacaan” (reading gardens) yang dikenal masyarakat lebih ramah
dari perpustakaan yang banyak dibangun oleh pemerintah colonial. Perkembangan
perpustakaan maupun taman pustaka pada masa itu juga dilatarbelakangi oleh
kebijakan politik etis pemetintah kolonial Belanda yang mencakup pendidikan
untuk orang pribumi. Sejalan dengan pendapat Stain Haklev dalam Rahmawati[23] yang mengatakan bahwa taman bacaan masyarakat
pada dasarnya diangn oleh tiga penggagas yaitu: 1) taman bacaan yang dibangun
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah local ataupemerintah daerah, 2) taman
bacaan yang dibangun oleh donator misalnya dalam program CSR perusahaan, 3)
taman bacaan yang dibangun oleh LSM maupun komunitas masyarakat lokal.
Demikian
juga dengan perkembangan TBM di Yogyakarta. Perkembangan taman bacaan
masyarakat di Yogyakarta berasal dari beberapa pihak taitu TBM yang tumbuh
karen abentukan pemerintah, berasal dari pribadi yang mencintai buku memiliki
kepedulian terhadap masyarakat, juga beberap peranan perusahaan yang membangun
TBM karena program CSR mereka.
Menurut
Amrin[24] Taman
bacaan Masyarakat adalah sebuah lembaga atau unit layanan berbagai kebutuhan
bahan bacaan yang dibutuhkan dan berguna bagi setiap orang per orang atau
sekelompok masyarakat di desa atau diwilayah TBM berada dalam rangka
meningkatkan minat baca dan mewujudkan masyarakat berbudaya baca.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Taman Bacaan Masyarakat adalah lembaga
atau unit layanan yang menyediakan bahan bacaan untuk sekelompok masyarakat di
suatu wilayah dalam rangka meningkatkan minat baca.
3. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan
Tugas Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
Saat media dan semakin banyak
pihak membicarakan dan bergerak untuk mengembangkan minat baca masyarakat di
berbagai daerah, maka salah satu media selain perpustakaan adalah adanya
keberadaan Taman Belajar Masyarakat (TBM). Untuk mengenal dan bisa mengerti
lebih dekat tentang Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Tugas Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) berikut sebuah tulisan yang dikutip langsung dari
repository.usu.ac.id mengenai TBM. Dalam proses belajar mengajar di semua
jenjang pendididkan baik TK, SD, SMP, SMU, PERGURUAN TINGGI maupun para
peneliti tidak lepas dari perpustakaan maupun taman bacaan masyarakat, dari
taman bacaan masyarakat mereka akan memperoleh informasi tentang bermacam-macam
hal karena pada hakekatnya suatu taman bacaan masyarakat adalah tempat
berkumpulnya pengetahuan dari masa ke masa. Taman bacaan masyarakat adalah
untuk melayani kepentingan penduduk yang tinggal di sekitarnya. Mereka terdiri
atas semua lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi,
budaya, agama, adat istiadat, tingkat pendidikan, umur dan lain sebagainya.
Dalam pengelompokan perpustakaan, taman bacaan masyarakat tergolong
dalam Perpustakaan Umum[25].
Dalam pengertian sederhana definisi di atas menyatakan bahwa perpustakaan umum
adalah sebuah perpustakaan atau sistem perpustakaan yang menyediakan akses yang
tidak terbatas kepada sumberdaya perpustakaan dan layanan gratis kepada warga
masyarakat di daerah atau wilayah tertentu, yang didukung penuh atau sebahagian
dari dana masyarakat (pajak). Menyimak definisi di atas, perpustakaan umum
memiliki tugas yang sangat luas dalam hal penyedia akses informasi kepada
masyarakat. Mengingat pentingnya perpustakaan umum sebagai perpustakaan masyarakat
umum, sehingga UNESCO (badan PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan) menyatakan perpustakaan umum sebagai media kehidupan bangsa. Pada
tahun 1972 UNESCO mengeluarkan Manifesto perpustakaan umum yang menyatakan
bahwa perpustakaan umum harus tebuka bagi semua orang tanpa membeda – bedakan
warna kulit, jenis kelamin, usia, kepercayaan, ras. Lebih rinci tujuan
perpustakaan umum dalam manifesto Unesco[26]
adalah:
a. Memberikan kesempatan bagi umum untuk membaca bahan pustaka yang
dapat membantu meningkatkan mereka ke arah kehidupan yang lebih baik.
b. Menyediakan sumber informasi yang cepat, tepat dan murah bagi
masyarakat, terutama mengenai topik yang berguna bagi mereka yang sedang hangat
dalam kalangan masyarakat.
c. Membantu warga untuk mengembangkan kemampuan yang dimilikinya
sehingga yang bersangkutan akan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya, sejauh
kemampuan tersebut dapat dikembangkan dengan bantuan bahan pustaka.
Bertindak selaku agen kultural , artinya perpustakaan umum pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat sekitarnya.
Bertindak selaku agen kultural , artinya perpustakaan umum pusat utama kehidupan budaya bagi masyarakat sekitarnya.
Sejak awal sebuah perpustakaan didirikan, apa pun jenisnya telah
disebutkan bahwa perpustakaan atau taman bacaan masyarakat mempunyai kegiatan
utama mengumpulkan semua sumber informasi dalam berbagi bentuk yakni tertulis (printed
matter), terekam (recorded matter) atau dalam bentuk lain, kemudian semua
informasi tersebut diproses, dikemas, dan disusun untuk disajikan kepada
masyarakat yang diharapkan menjadi target dan sasaran akan menggunakan taman
bacaan tersebut. Oleh karena itu penyelenggaraan taman bacaan tentu mempunyai
maksud dan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Untuk mewujudkan kandungan
maksud dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, diperlukan
langkah-langkah strategis, kebijakan yang aplikatif dan terencana secara
konseptual serta tindakan yang kongkrit.
Menurut Sutarno NS[27],
sebuah Taman Bacaan Masyarakat dibentuk atau dibangun dengan maksud: Menjadi tempat mengumpulkan atau
menghimpun informasi, dalam arti aktif, taman bacaan masyarakat tersebut
mempunyai kegiatan yang terus-menerus untuk menghimpun sebanyak mungkin sumber informasi
untuk di koleksi.
Sebagai tempat mengolah atau memproses semua bahan pustaka dengan metode atau sistem tertentu seperti registrasi, klasifikasi, katalogisasi serta kelengkapan lainnya, baik secara manual maupuan menggunakan sarana teknologi informasi, pembuatan perlengkapan lain agar semua koleksi mudah di gunakan.
Sebagai tempat mengolah atau memproses semua bahan pustaka dengan metode atau sistem tertentu seperti registrasi, klasifikasi, katalogisasi serta kelengkapan lainnya, baik secara manual maupuan menggunakan sarana teknologi informasi, pembuatan perlengkapan lain agar semua koleksi mudah di gunakan.
Program
Taman Bacaan Masyarakat belum dapat dikatakan berhasil apabila kemampuan,
keterampilan dan kinerja pengelola belum memadai untuk mengelola Taman Bacaan
Masyarakat, sehingga bagi para Pengelola TBM agar dapat mengikuti pelatihan
yang berhubungan dengan penyelenggaraan TBM sebelum melaksanakan tugasnya.
Menurut
Buku Pedoman Pengelolahan Taman Bacaan Masyarakat[28]
(2009: 23) Pengelola Taman Bacaan Masyarakat harus memiliki:
a. Pengelola
TBM yang diselenggarakan oleh masyarakat harus memiliki sikap peduli tanpa
pamrih (relawan) untuk membantu melayani bahan bacaan dan pembimbing masyarakat
membaca, berbeda dengan TBM yang dikelola oleh pemerintah.
b. Pengelola
diutamakan berlatar pendidikan bidang komunikas atau pendidikan yang memahami
berbagai bahan bacaan serta responsif gender dan berkomitmen untuk
mengembangkan minat baca masyarakat.
c. Pengelola
TBM diutamakan memiliki usaha ekonomi ditempat TBM, misalnya warung kopi,
wartel, counter HP, dll.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengelola TBM harus memiliki sikap peduli
dan tanpa pamrih untuk melayani bahan bacaan dan membimbing masyarakat dengan
latar belakang pendidikan bidang komunikasi agar dapat mengembangkan minat baca
masyarakat serta memiliki usaha ekonomi ditempat dimana TBM tersebut didirikan
sehingga memberi kenyamanan pada pengguna TBM.
C.
Metodologi
Penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan kualitatif dengan lebih menekankan
kepada pemaknaan mendalam atau pendeskripsian dan eksplanasi dari sebuah hasil
penelitian[29].
Metode ini digunakan secara tidak bersamaan, tetapi teknik pengumpulan yang
dapat digabungkan. Menurut Brannen (1992) dengan teknik pengumpulan data yang
utama adalah kuesioner, selanjutnya untuk mengecek dan memperbaiki kebenaran
data dari kuesioner tersebut dilakukan dengan pengumpulan data dengan teknik
kualitatif yaitu dengan teknik observasi dan wawancara.
Dalam
penelitian ini, dipilih beberapa informan yang dapat memberikan beberapa
penjelasan mengenai peran TBM serta menghasilkan beberapa rekomendasi kepada
Pemerintah berkaitan dengan hal-hal yang harus dipersiapkan dalam menyediakan
layanan perpustakaan TBM.
Sementara
dalam penelitian ini, penentuan ‘populasi’ atau social situation atau
situasi sosial yang terdiri dari tempat (place), pelaku (actors) dan
aktivitas (activity), dengan melakukan pengamatan secara mendalam
aktivitas orang-orang di tempat tertentu. Sementara untuk sampel, maka
digunakan narasumber, partisipan dalam hal ini adalah pengelola perpustakaan
masjid yang ada di Yogyakarta dan para pemustaka perpustakaan masjid
tersebut. Selanjutnya dilakukan
wawancara[30]
mendalam untuk mendapatkan infomasi yang detail pengenai peran perpustakaan
masjid dengan menggunakan dasar pedoman pengelolaan perpustakaan tempat ibadah.
Berikut disampaikan informasi mengenai jumlah perpustkaan TBM di DIY yaitu Di Indonesia ada 7.000. di DIY ada 349. Di
Sleman ada 73. Di Yogya ada 200. Di Bantul ada 30. Di GK ada 24. Di KP ada 22.
Berdasarkan
informasi dari BPAD[31], dari jumlah perpustakaan
TBM tersebut, akan diambil 3 TBM yang representatif untuk keperluan penelitian
dimaksud didasarkan pada TBM yang sudah mendapatkan penghargaan nasional dari
pemerintah yaitu: TBM Cakruk Pintar di Nologaten Sleman (2010), TBM Luru Ilmu
Yogyakarta (2011) dan TBM Mata Aksara di Jalan Kaliurang km 14 Sleman ( 2012).
Dengan
demikian, maka penelitian dengan judul ini akan dilakukan di 3 TBM di
Yogyakarta, dengan menggunakan tahapan-tahapan penelitian : Pembuatan rancangan
penelitian, Pelaksanaan penelitian dan Pembuatan laporan penelitian. Sumber
data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata, tindakan dan
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya[32].
Sementara
itu, untuk proses analisis datanya, menurut Moleong[33] bahwa proses analisis
data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.
Setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, langkah berikutnya adalah mengadakan
reduksi data yaitu dengan jalan melakukan abstraksi yaitu upaya melakukan
rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-penyataan yang perlu dijaga sehingga
tetap berada di dalamnya, menyusun dalam satuan-satuan kemudian dikategorikan
serta mengadakan keabsahan data.
Analisis
data dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, tetapi lebih difokuskan
selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. Menurut Miles and
Huberman[34]
dikatakan bahwa analisis data dilakukan dengan cara data reduction, data
display dan Conclusion drawing/verification Kemudian untuk pengujian
validitas dan reabilitas penelitian ini, penulis akan melakukan pengujian
yang meliputi : uji credibility
(validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability
(reliabilitas) dan confirmability.
D.
Hasil
Penelitian
Dari data dokumentasi, wawancara dan survey lapangan, didapatkan
informasi bahwa Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cakruk Pintar
berlokasi di Dusun Nologaten, Gang Selada No. 106 Rt.04/01, Caturtunggal,
Depok, Sleman, Yogyakarta. TBM ini
berdiri sejak tahun 2003. Awalnya, area bangunan TBM Cakruk Pintar
merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) yang di sekitarnya terdapat kandang
babi. Kondisinya pun kumuh. Muhsin Kalida yang merupakan penggagas awal
adanya TBM Cakruk Pintar tersebut.
Cakruk bisa diartikan sebagai saung atau gubug
tempat orang berteduh atau istirahat dari sawah. Dulu, banyak orang yang mampir
istirahat di situ setelah dari sawah atau selesai kerja, mereka berkumpul di
Cakruk. Mereka saling bertegur sapa antar warga, dan ngobrol-ngobrol santai.
Selain itu, bangunan Cakruk Pintar dulu dijadikan sebagai tempat ronda para
warga. Singkatnya, Bangunan Cakruk Pintar merupakan tempat berkumpulnya para
warga kala itu. Dari sini lah kemudian muncul ide menamakan Cakruk Pintar. Nama “Pintar” di sini
agar orang-orang yang datang ke Cakruk dapat menjadi lebih pintar. Atau dengan
kata lain, melalui Cakruk ini dapat mencerdaskan masyarakat sekitar yang
memanfaatkannya.
Motto dari TBM ini adalah “Datang Menyenangkan, Pulang Merindukan”. Hal ini
dikarenakan suasana TBM Cakruk Pintar yang asri dan segar. TBM Cakruk Pintar
berdiri diapit oleh dua sungai, yaitu sungai Gajahwong, dan sungai kecil.
Gemericik air dan pemandangan alam yang masih asri membuat orang yang datang ke
sana mendapatkan kesan menyenangkan, dan ketika orang tersebut pulang, ia
merindukan Cakruk Pintar dan ingin kembali berkunjung ke Cakruk Pintar. Kini, selain berfungsi sebagai Taman Bacaan,
Cakruk Pintar juga sering dijadikan tempat aktifitas para warga, misalnya untuk
rapat RT ataupun RW, pemilihan Kepala Desa, dan sebagainya. Sebelumnya, pada
tahun 2004-2005, TBM Cakruk Pintar bernama TBM Suka Caturtunggal yang berada di
dalam naungan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Suka Caturtunggal di bawah
Yayasan Yasuka. Kemudian pada tahun 2007, berubah menjadi TBM Cakruk Pintar dan
berada langsung di bawah Yayasan Yasuka. Jadi, Yayasan Yasuka membawahi dua
bidang, yaitu PKBM Suka Caturtunggal dan TBM Cakruk Pintar.
TBM berikutnya adalah TBM Luru Ilmu. Sejarah panjang dari TBM Luru
Ilmu dimulai pada Sebuah dusun di wilayah Kabupaten Bantul yang menjadi
miniatur kehidupan masyarakat yang memiliki budaya literasi melalui kegiatan di
Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Semangat untuk membangun desanya paska gempa
bumi tahun 2006, menjadi energi bagi Sugiyono Saiful Hadi (45) untuk mendirikan
sanggar kegiatan bagi masyarakat. Tidak ingin melihat dampak buruk gempa bumi
yang dapat menimpa anak-anak di dusun, maka didirikanlah sanggar belajar yang
diberi nama Sanggar Zeny Zulfy yang menjadi cikal bakal terbentuknya TBM
Luru Ilmu. Berawal dari sebuah dusun kecil yang kemudian berkembang hingga ke
daerah lain, jadi tahapan berdirinya TBM Luru Ilmu dalam melayani kebutuhan
literasi bagi masyarakat. Berlokasi di Dusun Gresik, Kelurahan Sumbermulyo,
Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, TBM Luru Ilmu berkembang pesat
hingga mampu mengukir prestasi hingga tingkat nasional.
Didasarkan pada survey lapangan, data dokumentasi dan wawancara
dengan para pengelola TBM, maka didapatkan informasi sebagai berikut:
Taman Bacaan Mata Aksara beralamatkan di jalan Kaliurang km. 14 No.
15 A Tegalmanding, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Telp- Fax 0274-898334. TBM Mata Aksara ini sangat
mudah di jangkau karena memang letaknya yang cukup strategis yakni berjarak 500
meter dari Universitas Islam Indonesia.
Adapun visi dari TBM Mata Aksara adalah mewujudkan masyarakat yang
gemar membaca, kreatif, cinta ilmu dan melestariak budaya. Sementara itu untuk
misi TBM Mata Aksara adalah sebagai berikut:
a.
Memberikan
kemudahan bagi masyarakat khususnya anak-anak untuk mendapatkan bacaan yang
bermutu.
b.
Menumbuhkembangkan
kegiatan menulis sebagai pengembangan kegiatan membaca.
c.
Menyelenggarakan
kegiatan kretif yang memupuk kegemaran membaca dan cinta ilmu.
d.
Merevitalisasi permainan tradisional sebagai
sarana pendidikan karakter.
e.
Menghimpun peran serta semua pihak dalm
mencerdaskan masyarakat melalui buku dan minat baca.
Dari data yang
diperoleh, Taman Bacaan Mata Aksara ini berdiri berawal dari perpustakaan
pribadi keluarga Nuradi Indra Wijaya. Buku-bukunya telah dikoleksi sejak tahun
2002 yang sebagian besar berupa buku anak-anak dan novel. Sudah menjadi
kebiasaan sejak awal bahwa jadwal jalan-jalan keluarga Nuradi selalu menjadikan
toko buku sebagai tujuan utama. Buku yang telah banyak mulai ditata dan dihitung
buku pada tahun 2009. Barulah kemudiaan tersadar bahwa koleksi sudah mencapai
600 (enam ratus) eksemplar buku.
Diawali dari
keprihatinan terhadap materi bacaan anak-anak, diiringi keinginan untuk berbagi
bacaan bermutu, serta mengoptimalkan fungsi perpustakaan, maka pada tanggal 9 Juli
2010 Mata Aksara resmi didirikan. Diawali dengan satu langkah kecil, Mata
Aksara bertujuan untuk memberikan kontribusi yang besar untuk masyarakat.
Dengan keyakinan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa terbaik untuk pembentukan
kebiasaan membaca, Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara ingin menjadi mitra bagi
anak-anak dan sekolah untuk mewujudkannya. Dengan keyakinan bahwa setiap orang
selalu punya kesadaran berbagi, Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara ingin
menjadi mitra bagi masyarakat untuk bersama-sama menebar kebaikan bersama buku.
Mata Aksara
mempunyai dua unsur kata yaitu Mata dan Aksara. Masing-masing kata mempunyai
makna yang berbeda. Mata adalah alat untuk melihat. Melihat yang dimaksud
disini adalah dengan indra mata maupun dengan mata hati. Aksara adalah unsur
penyusun kata. Rangkaian aksara yang membentuk makna. Tidak sekedar aksara alphabeth pembentuk kata, aksara yang
dimaksud termasuk segala ciptaan Tuhan yang harus dicari maknanya. Keberadaan
Mata Aksara dimaksudkan untuk membantu setiap orang untuk memahami segala
ciptaan Tuhan sebagai aksara yang tersirat, dan memahami buku dan ilmu sebagai
aksara yang tersurat melalui mata hati dan indra mata. Dalam perjalanannya,
sesuai dengan data dalam dokumentasi TBM Mata Aksara tahun 2014, Taman Bacaan
Masyarakat Mata Aksara semakin menunjukkan eksitensinya sebagai alternatif tempat belajar masyarakat.
Pelayananan di
TBM Mata Aksara terkadang dibantu oleh ibu Siti Adiyanti atau yang akrab di
sapa Mbak Dian. Beliau adalah kader BKB di desa Tegalmanding yang turut serta
ikut membantu operasional di TBM Mata Aksara. Dari analisi data diatas, dapat
diuraikan bahwa peran TBM dalam
menerapkan rekayasa budaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal
masyarakat muslim di Yoyakarta sebagai sebuah keistimewaan Yogyakarta, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
TBM Cakruk
Pintar
Dari hasil
wawancara yang dilakukan kepada pemustaka mengenai informasi tentang informasi dari
pemustaka tentang peran TBM Cakruk
Pintar dan manfaat bagi
kehidupannya dan informasi dari pemustaka tentang
kendala yang dirasakan di TBM kehidupannya, bahwa seorang pemustaka bernama Poniati (42 th/P)
menceritakan bahwa adanya Cakruk Pintar membawa berkah tersendiri bagi
masyarakat sekitar, terutama bagi dirinya Ia menuturkan bahwa ia pernah
mengikuti kegiatan pelatihan membuat kelepon yang diadakan di TM Cakruk Pintar.
Berkat pelatihan tersebut, ia dapat menambah pemasukannya untuk kebutuhan
keluarga dengan berjualan kelepon
yang dititipkan di beberapa warung. Lain halnya dengan Rezda (10 th L), ia
menjelaskan bahwa banyak hal yang didapatkan di TBM Cakruk Pintar, selain
bukunya menarik untuk dibaca, Cakruk Pintar juga kerap mengadakan kegiatan bagi
anak-anak, misalnya dalam kepenulisan, dan jalan santai, dan beberapa kegiatan
lain. Ia bercerita bahwa bersama temannya, ia selalu antusias mengikuti
kegiatan-kegiatan di Cakruk Pintar. Ia juga bercerita bahwa terkadang ada
lomba-lomba dan pengenalan budaya, misalnya wayang dan mendongeng bareng di
Cakruk Pintar. tidak hanya itu, mereka juga diajak untuk menyumbangkan buku
bekas yang masih layak baca untuk disumbangkan ke Cakruk Pintar. Annas (22 th/
L) mengutarakan bahwa ia banyak menemukan gagasan baru di Cakruk Pintar. Selain
ada buku-buku bacaan, tempatnya juga enak, asri dan sejuk. Sangat
sesuai dijadikan untuk tempat nongkrong dan mencari
ide-ide segar. Ia pernah mengikuti kegiatan diskuis di Cakruk Pintar. Ia
bercerita bahwa waktu itu ia berdiskusi bersama para mahasiswa bule-bule
terkait perbedaan budaya antara di Indonesia, terutama Yogyakarta dengan tempat
asal mereka di luar negeri. Selain itu,
ia juga pernah mengikuti kegiatan shalawatan tetapi di dalamnya disisipi dengan
kiat-kiat untuk memulai usaha (dzikirpreneurship).
Dan ia merasa bahwa ada banyak hal yang ia dapatkan dari Cakruk Pintar.
Umamah (26 th/ P) ia menuturkan bahwa keberadaan Cakruk Pintar seakan
menjadi rumah kedua baginya. Ia menjelaskan bahwa di Cakruk suasananya menyenangkan
dan sejuk. Dari sini, ia pernah mengikuti kegiatan pelatihan kesenian origami.
Cakruk Pintar menjadi ruang negosiasi bagi dia di mana dia dapat mengenal
banyak orang.
Dari hasil
analisis di lapangan, sistem
pengelolaan TBM Cakruk Pintar didesain sedemikian fleksibel dengan masyarakat.
Misalnya jam buka TBM yang 24 jam. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah
masyarakat untuk memanfaatkan TBM tersebut. Dengan dibuka 24 jam, juga
memberikan kesempatan bagi mereka yang tidak mempunyai waktu di siang hari
karena bekerja sampai sore bahkan malam. Tidak hanya itu, jika ada orang yang
ingin meminjam buku juga cukup menuliskan nama dan buku yang akan dipinjam
serta tanggal berapa buku tersebut ingin dikembalikan. TBM Cakruk Pintar
menerapkan sistem kejujuran atau kepercayaan bagi masyarakatnya. Hanya saja,
secara berkala pengelola Cakruk Pintar melakukan pemantauan, jika ada buku yang
sudah lama belum dikembalikan, maka akan ditanyakan kepada yang bersangkutan.
Sistem denda pun tidak ada di TBM Cakruk Pintar, siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun orang tua boleh
datang ke Cakruk Pintar. Tidak ada ketentuan harus memakai pakaiaan apa, yang
terpenting sopan bagi warga di tempat tersebut. Baik memakai sarung, celana
pendek, dan lainnya.
Hingga kini, ada beberapa
penghargaan yang diperoleh TBM Cakruk Pintar. Di antaranya adalah pada tahun
2009 terpilih sebagai tempat yang siap dikunjungi oleh peserta tamu dari 33
provinsi. Kemudian pada tahun 2010 TBM Cakruk Pintar mendapat juara 2 Jambore
tingkat Provinsi DIY, dan kemudian di tahun yang sama pula, 2010, TBM Cakruk
Pintar mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sebagai TBM kreatif dan rekreatif yang penghargaanya diserahkan secara langsung
oleh Bapak Menteri pada saat itu.
Ada beberapa program yang sudah
dilakukan di TBM Cakruk Pintar. Paling tidak meliputi Peningkatan Budaya Baca,
pelestarian budaya lokal, dan pemberdayaan masyarakat melalui program Tri Daya.
Untuk pelestarian budaya lokal, ada
beberapa budaya lokal yang dilestarikan, yaitu tari-tarian dan permainan
tradisional yang kini keduanya mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang.
Adapun jenis tari yang dilestarikan adalah Tari Bondan dan Tari Gejog Lesung.
Sementara untuk permainan tradisional adalah theklek, egrang, dakon, wayang, dan lainnya. Secara berkala, Cakruk
Pintar mengadakan event untuk nguri-nguri
budaya lokal tersebut. Adapun sasarannya lebih banyak kepada anak-anak.
Pasalnya, anak-anak tersebut lah yang nantinya menjadi generasi penerus bangsa.
Sebagai bangsa yang besar, anak-anak tersebut harus tahu dan memegang terus budaya-budaya lokal yang mereka miliki di
setiap daerah.
Kemudian, untuk peningkatan budaya
baca tulis, TBM Cakruk Pintar tidak hanya menyediakan bahan bacaan saja, tetapi
juga melakukan beragam kegiatan untuk merangsang minat baca masyarakat. Dalam
hal ini, strategi yang dipakai adalah dengan mendekatkan masyarakat kepada TBM.
Adapun cara mendekatkannya dengan melibatkan para warga dalam setiap kegiatan.
Misalnya adalah pemilihan kepala desa diselenggarakan di TBM Cakruk Pintar
serta dilengkapi dengan adanya doorprize.
Dengan demikian, para masyarakat semangat untuk datang ke Cakruk Pintar. Ketika
masyarakat sudah akrab dan sering datang ke Cakruk Pintar, lama kelamaan mereka
akan bersentuhan dengan buku-buku bacaan. Sehingga ada sebuah rangsangan untuk
membaca buku.
Selain itu, TBM Cakruk Pintar juga
aktif mengadakan beberapa event menulis. Misalnya adalah menulis mimpi bagi
para anak-anak. Dalam kesempatan ini, anak-anak diajak untuk menuliskan apa
mimpi mereka, baik mimpi dalam artian cita-cita, maupun mimpi dalam artian
mimpi ketika mereka tidur. Selain menulis mimpi, ada juga event “bengkel
menulis” bagi para guru. Para guru diajak untuk belajar dan mengembangkan
skillnya dalam dunai kepenulisan. Selain program-program tersebut, masih banyak
lagi kegiatan yang ada di Cakruk Pintar, misalnya jalan sehat.
Selanjutnya, TBM Cakruk Pintar juga
mempunyai program pemberdayaan masyarakat melalui konsep Tri Daya yang meliputi
pemberdayaan lingkungan, pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), dan
pemberdayaan ekonomi. Melalui program Tri Daya ini, TBM Cakruk Pintar
menegaskan fungsinya tidak sekedar sebagai tempat atau sarana baca saja, tetapi
juga sarana untuk menigkatkan kualitas lingkungan, kualitas SDM, dan kualitas
ekonomi masyarakat. TBM Cakruk Pintar mempunyai 9 kolam ikan yang dikelola oleh
masyarakat sekitar di mana hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat dan
operasional Cakruk Pintar.
Selain
itu, TBM Cakruk Pintar juga pernah melakukan pendampingan kepada ibu-ibu di
sekitar Cakruk Pintar untuk membuat jajanan pasar, misalnya kelepon dan beberapa jajanan lainnya.
Dari kegiatan ini, ternyata ada beberapa masyarakat yang sebelumnya tidak mempunyai
usaha, kini telag mempunyai usaha tambahan dengan membuat jajanan pasar
sehingga mampu membantu perekonomian keluarga.
Untuk perkembangan minat baca di TBM Ckruk Pintar, tidak dapat diukur secara
kualitatif. Hanya saja, ada beberapa indikator yang menggembirakan. Misalnya,
banyak anak-anak yang sepulang dari sekolah dan belum sampai di rumah mereka
mampir dulu ke Cakruk Pintar untuk meminjam buku. Bahkan, kadang mereka
keasyikan bermain di Cakruk Pintar. Selain itu, di kala pagi, ada warga yang sambil momong cucunya sembari membaca
buku di Cakruk Pintar. Dari sini bisa dilihat bahwa masyarakat kiranya sudah
dekat dengan buku.
Terkait keistimewaan Yogyakarta, Muhsin Kalida sebagai pengelola TBM Cakruk Pintar mengemukakan bahwa
TBM menempati posisi strategis dalam pelestarian budaya. Pada dasarnya, budaya
lokal, misalnya permainan tradisional, mempunyai nilai-nilai edukatif yang
sangat tinggi. Kalaupun hingga sekarang masih ada yang tidak mau melestarikan
budaya, berarti dia belum menemukan nilai-nilai edukatif atau nilai manfaat di
dalamnya. Padahal, budaya lokal dan permainan tradisional adalah salah satu
bagian terpenting dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Melalui TBM Cakruk Pintar ini pula tidak hanya memperkuat keistimewaan Yogyakarta dalam bidang
budaya, tetapi juga pendidikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa laju
pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Melalui TBM ini, menjadi sarana
efektif untuk meningkatkan laju pendidikan dengan pendidikan formal melalui TBM. Antara pemerintah dan TBM harus
saling menguatkan. Jika TBM kuat, tetapi pemerintah lemah, maka tidak akan
terjadi sinergi yang baik. Demikian halnya ketika pemerintah kuat akan tetapi
TBMnya yang lemah. Misalnya ketika pemerintah getol memberikan pendampingan dan
bantuan secara operasional, maka dari pihak TBM pun harus kuat secara manajemen
dan kapasitas SDM.
b. TBM Luru Ilmu
Peran TBM Luru
Ilmu ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Hasil wawancara dengan pengunjung
TBM Luru Ilmu dapat disimpulkan bahwa TBM Luru Ilmu memiliki manfaat untuk
menambah pengetahuan. Untuk refreshing ketika di rumah bosan, dan juga dapat
mengasah pikiran. “Biasanya sih, baca-baca buku masak. Nanti bisa di praktekan
di rumah” kata seorang pengunjung. “Baca buku kan biar pikirannya tidak tumpul,
mbak. Saya kan berhenti kuliah jadi ibu rumah tangga, jadi kalo pas nganter
anak paud gini sambil baca-baca dan pinjam buku biar mengasah pikiran” kata Bu
Vita.
TBM Luru Ilmu
ini menjadi TBM yang diminati oleh pemustaka masyarakat sekitarnya. Untuk
menjadi TBM yang diminati, dibutuhkan pengelolaan yang baik. Dari hasil
wawancara dengan pengeola TBM Luru Ilmu, Bapak Saiful dan Ibu Erna. Mereka
menjelaskan untuk manajemen pengelolaan di TBM luru ilmu ini dikelola oleh
mereka sendiri dan terkadang mengikut sertakan saudara dan pemuda-pemuda dusun.
Setiap buku
yang datang ke TBM baik dari Bantuan ataupun hibah, biasanya mereka memilah dan
memilih buku yang layak dan tidak, kemudian mengambil beberapa eksemplar saja
jika jumlah buku dengan judul yang sama banyak.
Tujuh tahun bersama masyarakat Dusun Gresik,
TBM Luru Ilmu telah mampu memberikan warna baru dalam kehidupan warga sekitar.
Adanya penyediaan buku bacaan ringan maupun buku pelajaran untuk anak-anak usia
sekolah dasar, menjadi daya tarik untuk mengunjungi TBM Luru Ilmu. Anak-anak
yang biasanya bermain, setelah mereka pulang dari sekolah, lebih memilih untuk
berkunjung ke TBM untuk membaca buku. Setiap harinya tidak kurang dari dua
puluh orang datang ke TBM Luru Ilmu untuk meminjam dan membaca buku di perpustakaan.
Layanan peminjaman buku sangatlah mudah untuk diakses oleh masyarakat mulai
dari anak-anak hingga orangtua. Upaya pengelola memberikan kesempatan
masyarakat agar lebih dekat dengan lingkungan perpustakaan terus dilakukan.
Salah satunya dengan pelayanan peminjaman buku mandiri. Dimana peminjam
langsung dapat memilih hingga mencatat buku yang dipinjam, sebutlah di
antaranya Ane, Keke, Tami dan Andika yang datang untuk meminjam buku sekaligus
mencatatkan dirinya sebagai peminjam.
Adapun sumber
daya manusia di TBM Luru Ilmu adalah pengelola sendiri, Bapak Saiful dan Ibu
Erna. Relawan dari mahasiswa yang akan penelitian skripsi juga membantu di TBM
Luru Ilmu. Dari hasil wawancara, pak Saiful mengatakan bahwa, jika ada
pelatihan atau seminar-seminar tentang TBM, beliau menyuruh istri, Kakak atau
pemuda untuk mewakilinya menghadiri acara tersebut. Ini bertujuan untuk
kaderisasi. Karena menurut pak Saiful bahwa sebuah sistem lebih penting dari
pda Tokohnya, ini berarti apabila Tokoh atau yang mendirikan TBM itu lebih baik
dari pada sistemnya, maka ketika tokohnya roboh maka TBM nya juga akan roboh.
Tetapi ketika sistemnya lebih baik, maka apabila tokohnya sudah tidak adapun
TBM akan terus berjalan.
Ketika
peneliti menanyakan soal anggaran di TBM Luru Ilmu, Pak Saiful menjelaskan
bahwa semua anggaran untuk koleksi buku di Luru Ilmu ia dapatkan sendiri. Mulai
dari mengirim proposal ke penerbit-penerbit, mengirim permintaan buku ke surat
kabar, bantuan dari Perpustakaan Daerah dan uang dari kantong pribadi.
Dari
hasil wawancara, bahwa sebenarnya TBM Luru Ilmu mendapatkan SK dari kelurahan,
tetapi untuk anggaran berupa uang dari pemerintah secara berkala maupun
intensif sama sekali belum pernah ada. bapak Saiful sendiri tidak mau
bergantung pada pemerintah, beliau menyatakan bahwa TBM ini lebih bergantung
pada masyarakat sekitar karena tanpa masyarakat sekitar yang mendukung TBM ini
tidak akan maju berkembang sepeti sekarang ini. Beliau mengatakan juga bahwa
pernah dijanjikan oleh pemerintah daerah akan dibangunkan gedung untuk TBMLuruh
Ilmu, namun sampai sekarang belum ada realisasinya.
Peran
dari TBM Luru Ilmu adalah sebagai tempat belajar/ pembelajaran bagi
anak-anak,sebagai tempat hiburan atau wisata, sebagai sumber inspirasi
masyarakat, sebagai pusat informasi masyarakat. Model integrasi antara
perpustakaan dan pendidikan anak usia dini (PAUD) juga terlihat berbeda di Luru
Ilmu ini. Adanya perpustakaan yang terpadu dengan KB Zeny Zulfy mampu
memberikan pembelajaran kepada anak tentang cinta baca. Dimulai dari anak usia
dini, pengenalan budaya cinta baca dapat dilakukan guru maupun orangtua.
Termasuk dalam pelestarian budaya local mengenai tari-tarian tradisional,
secara rutin juga diberikan pelatihan kepada anak-anak.
Respon
positif masyarakat terhadap adanya TBM Luru Ilmu, tak menghentikan langkah
Pakdhe Saiful, sapaan akrab Saiful Hadi dan pengelola lainnya untuk
mengembangkan model layanan yang lebih menarik. “Motor Pintar” menjadi media
yang kreatif untuk mengenalkan budaya baca.
Adanya motor pintar juga mempermudah pengelola
TBM Luru Ilmu untuk menjangkau masyarakat yang jauh dari Dusun Gresik. Luasnya
daerah yang telah dijangkau oleh layanan perpustakaan keliling ini memberikan
timbal balik bagi lembaga yakni dikenalnya TBM Luru Ilmu oleh masyarakat luas.
Dari
sumber Hamemayu Edisi 4 September 2013, dijelaskan juga bahwa keberadaan
lembaga pelayanan literasi menjadi penting di tengah-tengah kehidupan
masyarakat yang kian dinamis. Pengenalan budaya cinta baca menjadi contoh
yang inspiratif mengurangi dampak negatif perubahan zaman. Perubahan pola
belajar dan komunikasi yang praktis menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola
perpustakaan untuk terus menciptakan inovasi dalam melayani masyarakat.
c. TBM Mata Aksara
Wawancara
kemudian dilanjutkan kepada Bapak Nuradi dan menghasilkan informasi mengenai
ciri khas TBM Mata Aksara. Nuradi mengungkapkan bahwa yang menjadi ciri khas
dari TBM Mata Aksara adalah adanya program “Dari Buku Menjadi Karya”. Kegiatan
tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk
masyarakat, Selain itu, dengan adanya kegiatan terrsebut diharapkan masyarakat
lebih dekat dekat dengan buku, juga mengenal TBM sebagai sumber informasi dan
hasil praktik dari buku tersebut dapat membantu meningkatakan taraf hidup
masyarakat.
TBM Mata Aksara
ini di bina langsung oleh Kantor Perpustakaan Kab. Sleman, adapun bentuk
pembinaanya berupa pendampingan kegiatan, pelatihan dan juga adanya insentif
untuk pengelola sebesar 900.000/tahun. Anggaran dana tersebut selanjutnya oleh
pengelola digunakan untuk menambah sumber dana untuk kegiatan yang ada di Mata
Aksara. Pemerintah DIY (BPAD) secara khusus tidak memberikan memberikan bantuan
dana, namun dari BPAD DIY pernah memberikan bantuan berupa dua set rak buku
kepada TBM Mata Aksara.
Harapan
Pengelola TBM terkait dengan keisteimewaan Yogyakarta diungkapkan oleh Ibu Heni
bahwa dengan keistimewaan yogyakarta pengelola TBM lebih di perhatikan.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di TBM juga mendapatkan dukungan dari
pemerintah. Selama ini kegiatan tentang budaya yang dilakukan di TBM Mata
Aksara sudah cukup banyak seperti aneka macam dolanan anak dan membatik. Namun
selanjutnya bagaimana agar tradisi tersebut tidak hanya di laksanakan, tetapi
juga bagaimana caranya agar berbagai macam kegiatan lokal/budaya tersebut dapat
disimpan dalam sebuah karya dalam bentuk tulisan, sehingga nantinya di budaya
tersebut tidak luntur karena hanya diwariskan melalui tradisi lisan. Heni juga
menambahkan bahwa nantinya dengan adanya Dana Keistimewaa Yogyakarta ia mendapatkan
bantuan 1 set gamelan yang nantinya dapat digunakakan untuk menumbuhkembangkan
tradisi musik jawa dan tembang jawa.
Pengembangan
Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara juga merambah kepada pengembangan program
yaitu mengembangkan jangkauan pelayanan Mata Aksara melalui motor keliling ke
semua kecamatan di wilayah Kabupaten Sleman dan DIY. Dalam konteks keistimewaan
adalah menyelenggarakan wahana praktik perikanan dan pertanian sebagai rintisan
unit usaha yang merupakan optimalisasi sentra perikanan lele dan pembangunan
sentra pertanian vertikultur. Disaming itu juga, melakukan pembuatan mug atau
pin bergambar dan menambah alat permainan tradisional. Rumah pohon juga menjadi
ciri khas TBM Mata Aksara ini. Rumah pohon difungsikan untuk menarik minat
pemustaka untuk naik ke rumah yang ada di atas pohon dan membaca di rumah
tersebut.
Mendukung
progam kegiatan yang akan dilaksanakan, saat ini pengembagan fisik yang sedang
dilaksanakan di Mata Aksara adalah: membuat kolam lele, dengan ukurang 2 x 0,5
m; membuat rumah bambu/ para-para untuk pertanian veltikulture; dan menyiapkan
wahana bermain berupa jembatan tali dan membuat tempat duduk di ruang-ruang.
Kegiatan lain yang dilaksanakan terkait dengan pengembangan SDM adalah
mengadakan pertemuan rutin evaluasi penyelenggaraan TBM, menyelenggarakan
pelatihan internal penyelenggaraan ice breaking, mengikutsertakan
pengelola TBM dalam kegiatan pengelolaan TBM yang diselenggarakan oleh Mitra
Mata Aksara dan menyelenggarakan studi banding ke TBM lain yang berada di
sekitar Yogyakarta dan di luar Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata Aksara juga
melakukan kerjasama dengan pihak lain, antara lain dengan media massa, forum
TBM tingkat kabupaten dan Propinsi serta menjalin kerjasama dengan organisasi
mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, dengan perpustakaan daerah kabupaten dan propinsi, dinas
pendidikan kabupaten dan propinsi serta pihak lain yang bisa diajak
bekerjasama.
Dari data dokumentasi yang ada dan hasil
wawancara dengan pengelolan Taman Bacaan Masyarakat Mata Aksara, dalam kurun waktu terkini, TBM Mata Aksara mempunyai
beberapa pernghargaan antara lain: Anugerah
TBM Kreatif Rekreatif tingkat Nasional dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia tahun 2012; Pustaka Bhakti Tama dari Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah Provinsi DIY atas nama Heni Wardatur Rohmah tahun 2012; Juara II
Apresiasi PTK-PNFI Daerah Istimewa Yogyakarta, Balai Pengembangan Kegiatan
Belajar DIY tahun 2013; Juara I Lomba bercerita Tingkat SD/ MI se-DIY atas nama
Syakira Divany Wijaya, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY tahun
2013; Finalis Lomba Menulis Cerita Barbahasa jawa se-DIY atas nama Dewi
Rukmini, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY tahun 2013.
Adapun kendala yang dihadapi TBM dalam perannya melestarikan
nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim di Yogyakarta, sebagai berikut:
a. TBM Cakruk Pintar
Dari hasil wawacara dan observasi di TBM Cakruk
Pintar, beberapa pemustaka menceritakan tentang kendala-kendala terkait dengan
peran TBM dalam melestarikan nilai-nilai budaya lokal, seperti yang disampaikan
oleh Poniati (42 th/P) menuturkan bahwa kendala utama bagi dirinya adalah
minimnya waktu sehingga ia terkadang melewatkan beragam pelatihan yang diadakan
di Cakruk Pintar. Selain itu, karena mempunyai tingkat penglihatan yang kurang,
jadi ia mengalami kendala ketika ingin membaca buku. Rezda (10 th/ L), ia mengutarakan bahwa buku-buku anak kurang banyak karena
sudah habis dibaca. Harus ada penambahan buku baru untuk anak-anak biar
anak-anak rajin datang ke cakruk pintar. Annas (22 th/ L) ia mengutarakan bahwa
buku-buku perkuliahan di TBM Cakruk Pintar masih minim, kebanyakan adalah buku
pengembangan skill, motivasi dan buku-buku teknis. Selain itu, terkadang buku
yang dicari tidak ditemukan. Belum adanya sarana temu kembali informasi,
misalnya automasi, menjadi pencarian buku harus manual. Bambang (35 th/L) ia menuturkan bahwa kebanyakan kegiatan pelatihan yang
ada di Cakruk Pintar dilaksanakan di siang hari, jadi ia tidak bisa
mengikutinya. Sementara Umamah (26 th/ P) mengutarakan bahwa kendala yang
dialami hanya ketika ada event budaya, ia jarang mendapatkan informasi karena
tidak mengakses di jejaring sosial, jadi sering tidak tahu kalo ada event-event.
Dari perspektif pengelola TBM Cakruk
Pintar, dirasakan ada kendala terkait dengan kebijakan dan peran pemerintah.
Dikatakan oleh Muhsin Khaleda bahwa hingga
kini peran pemerintah belum begitu dirasakan dalam bidang budaya. Memang untuk
apresiasi pemerintah terhadap TBM yang kreatif sudah ada, hanya saja belum
dalam bidang budaya. Dalam hal ini, paling tidak ada beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus melakukan pembinaan
budaya di TBM-TBM. Kedua, Pemerintah bertanggung jawab penuh atas
keberlangsungan budaya. Ketiga, pemerintah harus terus menggali budaya
lokal saat ini yang mulai terkikis oleh budaya global. Misalnya, pada saat
belum ada TV, masyarakat masih sangat dekat dengan budaya-budaya lokal, hanya
saja setelah ada TV, masyarakat mulai beralih perhatian dan minatnya. Keempat,
Pemerintah harus bersinergi kepada pihak-pihak yang memiliki kekuatan (power)
dalam bidang pelestarian budaya, salah satunya melalui TBM.
b. TBM Luru Ilmu
Dalam
penyelenggaraan, TBM Luru Ilmu juga mengalami berbagai kendala. Kendala yang
dihadapi adalah, jarak rumah yang jauh dengan TBM, waktu dan kurangnya minat
baca. Untuk kendala di TBM nya menurut salah seorang pengunjung, kurang
tertatanya koleksi di TBM, harus memilih sendiri buku-buku di TBM yang sesuai
dengan kebutuhan dengan waktu yang lama. Salah
satu kendala yang dihadapi oleh TBM Luru Ilmu adalah menumbuhkan budaya baca.
Disadari oleh Pak Syaiful bahwa buku merupakan jendela informasi dunia.
Menumbuhkan minat baca masyarakat dekade ini tidaklah mudah, apalagi di
daerah-daerah pedesaan. Pimpinan
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Luru Ilmu, Syaiful Hadi memaparkan, taman bacaan
yang dirintis sejak 2009 itu, semata-mata hanya untuk membantu masyarakat di
semua kalangan supaya dapat mengakses informasi dengan mudah. Dengan bertambah
informasi otomatis dapat merubah pola pikir masyarakat terutama di daerah
pedesaan. Hal itu peneliti telusuri dari sumber jogjakartanews.com, dimana Pak
Syaiful memaparkan informasi tersebut kepada wartawan pada hari Minggu, 01
Desember 2013, yaitu "Selain buku-buku dan koran, TBM juga sudah dipasang
internet, semua gratis untuk masyarakat,". Melalui usahanya itu, Syaiful 3
kali mendapat penghargaan dari Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan, Muhammad Nuh.
Selain itu, dia juga dinobatkan sebagai Tokoh Penggerak Baca Nasional oleh
Perpustakaan Nasional Jakarta. "Tantangan
yang terpenting sekarang adalah dapat mengubah pola pikir masyarakat, lewat
budaya gemar membaca di TBM Luru Ilmu,
Sumbermulyo, Bantul.”Akan tetapi, Syaiful menilai minat baca masyarakat dirasa
masih kurang, terutama untuk kalangan dewasa dan orang tua.
Budaya
baca di TBM dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang diadakan di TBM. Kegiatan
ini dimaksudkan untuk merangsang minat baca bagi anak dan masyarakat. Kegiatan
yang dilakukan ikut menyelenggarakan world
book day. (bukti kegiatan foto di folder Budaya dan budaya baca). Untuk
masyarakat disana minat baca cukup baik, terutama untuk anak-anaknya. Di TBM
Luru Ilmu juga menyediakan papan Koran dan banyak di minati oleh masyarakat
sekitar.
Yang
menjadi ciri khas dari TBM Luru Ilmu adalah TBM yang Mandiri, tidak bergantung
pada pihak manapun, kegiatan-kegiatan yang dilakukan bermacam-macam, dan letak
yang strategis karena terdapat masjid dan PAUD. Bangunan yang unik, terdapat
taman bermain dan patung-patung dari ukiran batu. Ini yang membuat orang-orang
penasaran, tertarik dan betah di TBM Luru ILmu.
Untuk
prestasi yang disebutkan dalam buku Jogja TBM Kreatif pada halaman 55. TBM Luru
Ilmu mendapatkan 3 penghargaan sepanjang 2011. Untuk tahun 2012 hingga sekarang
tidak ada prestasi ataupun penghargaan, dari hasil wawancara, Pak Saiful
sebagai pengelola TBM mengemukakan bahwa TBM nya tidak akan mengikuti
Perlombaan karena Beliau menginginkan kader dan memberi kesempatan TBM-TBM
lain.
Pengelola
TBM Luru Ilmu ini juga berharap peran Pemerintah lebih di perbaiki, karena
kegiatan ataupun pelatihan bagi TBM hanya seperti itu saja, monoton dan tidak
berkembang. Bapak Saiful juga berharap untuk ada monitoring langsung saja dari
pusat. Sudah sering beliau mengirim kritikan ke pemerintah daerah maupun DIY
untuk masa depan TBM, namun tidak ada respon.
Adapun
menyangkut peran TBM dalam melestarikan budaya lokal DIY, peran nya adalah ikut
menjaga dan melestarikan budaya lokal dengan cara mengadakan kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan budaya lokal. Juga menyediakan koleksi-koleksi dengan
konten budaya lokal.
c. TBM Mata Aksara
Berbeda
dengan TBM Cakruk Pintar, TBM Mata Aksara mempunyai kendala tersendiri dalam
pengelolaan TBM nya, baik kendala yang dihadapi oleh pemustakanya maupun
kendala yang dihadapi oleh pengelolanya.
Dalam
penelitian ini, dijelaskan pemustaka yang dapat di temui untuk wawancara ada 4
orang. Yakni Ibu Dian (Ibu Rumah Tangga), Alza (Pelajar SMP), Angga (Pelajar SMP) dan Dita (SD).
Berdasarkan wawancara dengan pemustaka yang mengunjungi TBM mata Aksara,
didapatkan informasi yang menyebutkan bahwa yang menjadi kendala mereka untuk
mengakses TBM mata Aksara adalah minimnya pengelola. Alza dan Angga adalah
pelajar SMP kelas VIII. Mereka sudah menjadi pengguna aktif sejak kelas IV SD.
Biasanya mereka mendapatkan informasi mengenai kegiatan TBM melalui jejaring
sosial, Facebook. Mereka mengungkapkan,
ketika ia sedang liburan sekolah ia sering mengunjungi TBM mata Aksara untuk
meminjam buku, belajar kelompok, belajar main musik (gitar) juga terkadang
sengaja mengunjungi Mata Aksara untuk mencari referensi buku yang menunjang
pelajaran di sekolahnya. Menurut mereka keberadaan TBM Mata Aksara sangat
bermanfaat bagi mereka. Dengan adanya TBM tersebut mereka merasa leluasa untuk
mendapatkan bahan bacaan untuk menambah wawasan dan juga sebagai sumber
belajar. Hal yang disayangkan oleh Angga adalah, ketika ia datang ke TBM Mata
Aksara terkadang harus pulang dengan tangan hampa karena pintu terkunci saat
pengelola sedang ada tugas/kegiatan diluar kota. Ibu Dian adalah ibu rumah
tangga. Beliau juga seorang kader BKP di desa Tegamanding. Beliau menjadi anggota
TBM selama 2 tahun terakhir. Ibu dari dua anak ini mengungkapkan bahwa TBM mata
aksara memiliki berperan penting dalam kehidupannya. Dengan adanya TBM mata
aksara, ia bisa mendapatkan buku-buku untuk menunjang pendidikan anaknya.
Selain itu a juga dapat memenuhi kebutuhan informasi untuk anakanya, karena
koleksi buku anak-anak yang ada di TBM mata Aksara cukup banyak. Menurut Ibu
Dian kegiatan yang dilakukan di TBM mata Aksara ini juga menunjang kehidupannya
dalam hal ekonomi keluarga. Di TBM Mata Aksara sering di adakan kegiatan
pelatihan bagi ibu-ibu seperti membuat kue, membuat bros dari kain perca/flanel
yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan kendala yang dihadapi
pun sama yakni minimnya pengelola TBM Mata Aksara untuk memberikan pelayanan. Dita
adalah pelajar SD berusia 10 tahun. Dita mengungkapkan bahwa ia sangat senang
ketika mengunjungi TBM Mata Aksara karena ia dapat meminjam buku anak-anak yang
tidak bisa di dapatkannya di sekolah. Biasanya ia mengunjungi TBM Mata Aksara
dengan diantarkan oleh Ibunya. Terkadang ibunya juga mengikuti kegiatan di TBM
Mata Aksara. Sedangkan kendala yang dihadapi adalah terkadang ia sulit untuk
mendapatkan informasi tentang jam pelayanan di TBM, karena rumahnya juga cukup
jauh. Terkadang ia sudah datang ke TBM, tapi ternyata sedang tutup.
Dari
perspektif pengelola, dapat dijelaskan bahwa berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan pada Sabtu, 15 November 2014 kepada pihak pengelola TBM Mata Aksara
yakni Ibu Heni dan Bapak Nuradi, kendala yang dihadapi adalah minimnya SDM
untuk mengelola. Minimnya pengelola tersebut berdampak pada pelayanan, yang
mana ketika pihak pengelola sedang tidak ada di rumah atau sedang ada tugas
keluar kota, kondisi taman bacaan kosong sehingga terkadang pelayanannya
menjadi terhambat. Selain itu, Nuradi juga mengungkapakan bahwa yang
disayangkan adalah, ketika ada mahasiswa sedang meneliti di TBM tersebut,
diharapakan terus ikut berpartispasi untuk ikut mengelola TBM, tidak hanya
datang kemudian penelitian, ambil data dan ketika penelitian sudah selesai
tidak ada ketertarikan untuk menjadi voulenteer atau turut serta membantu pengelolaan
TBM Mata Aksara.
E.
Diskusi
dan Rekomendasi
Dari hasil olah data dan pembahasan peran TBM dalam menerapkan
rekayasa budaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim
di Yogyakarta sebagai sebuah keistimewaan Yogyakarta , dapat dilihat bahwa
ketiga TBM, baik TBM Luru Ilmu, TBM Cakruk Pintar dan TBM Mata Aksara mempunyai
peran yang sangat signifikan di dalam memberikan kontribusinya dalam penerapan
rekayasa budaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal, terutama pada
masyarakat sekitar TBM tersebut yang menjadi pemustaka aktif di TBM-TBM yang
ada. Di TBM Mata Aksara misalnya, Taman Bacaan Masyarakat Tegal manding
Yogyakarta, yang lekat dikenal dengan rumah pohon mata aksara, disamping
menjadi pusat pinjam meminjam koleksi, maka berperan juga sebagai tempat
pengembangan minat baca dengan progam-program yang dimiliki oleh Mata Aksara
diantaranya yaitu praktek buku menjadi karya, batik bareng, Sekolah Menulis
Mata Aksara, Sekolah Mitra Mata Aksara dan motor keliling. Selain itu, juga sebagai tempat pengenalan dan
pelestarian budaya dengan progam membatik, tembang dolanan, dan melestarikan
permainan tradisional, yang sangat kental dengan prinsip keistimewaan
Yogyakarta, dan berperan sebagai tempat magang dan KKN bagi para pemuda maupun mahasiswa
yang ingin mengembangkan kemampuannya khususnya di bidang perpustakaan dan
masyarakat. Intinya, TBM Mata Aksara mampu menjadi tempat sumber informasi
masyarakat yang menyediakan kebutuhan informasi masyarakat di sekitarnya.
Tidak kalah di TBM Cakruk Pintar, dengan moto “datang menyenangkan,
pergi dirindukan”, maka TBM Cakruk Pintar yang khas dengan cakruk, hansip,
kenthongan dan jimpitan ini memegang peranan penting di masyarakat. TBM Cakruk
Pintar mengembangkan budaya baca dan budaya tulis bagi para pemustakanya.
Kegiatan-kegiatan kreatif yang dilakukan TBM Cakruk Pintar yang mendapatkan
apresiasi dari masyarakat adalah membaca dan jalan sehat, lomba nangkap lele,
nonton bareng, mendongeng, menulis mimpi, bengkel menulis, training life
skills, pentas seni, dzikir entrepreneur. Dengan mengungkapkan dan mengeksplorasi
budaya-budaya lokal yang ada, ketiga TBM ini mampu membuat masyarakat sekitar
menjadi lebih berdaya guna.
F.
PENUTUP
1.
Simpulan
Dari hasil survey lapangan, pengolahan
data didasarkan ada sumber dan dokumentasi serta hasil observasi, maka dapat
disimpulkan bahwa:
a. TBM Luru Ilmu, TBM Cakruk Pintar dan TBM
Mata Aksara memegang peran kunci dalam menerapkan rekayasa budaya untuk
melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim di Yogyakarta sebagai
sebuah keistimewaan Yogyakarta. Hal itu terlihat dalam kegiatan dan program
kerja yang dilaksanakan di TBM-BM tersebut, mengandung unsur kearifan lokal
yang terkandung dalam masyarakat muslim di Yogyakarta. Contoh yang
diimplementasikan adalah pelestarian dolanan tradisional, pembuatan kue yang
didasarkan pada panduan dalam buku, tersedianya koleksi local conten.
b. Kendala-kendala yang muncul yang dihadapi
TBM dalam perannya melestarikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat muslim di
Yogyakarta adalah pengelolaan TBM, peningkatan budaya baca, minimnya sumber
daya masyarakat, dan system layanan yang diberlakukan di TBM.
c. Rekomendasi yang dihasilkan dari
penelitian yang di lakukan di TBM Luru Ilmu, TBM Cakruk Pintar dan TBM Mata
Aksara adalah adanya peran pemerintah yang lebih aktif lagi dalam pembinaan
penyelenggaraan TBM, terkait dengan sumber daya manusia yang bisa mengelola
TBM. Adanya juga sosialisasi yang intens mengenai konsep keistimewaan
Yogyakarta sehingga TBM bisa menyesuaikan lagi dalam mengimplementasikan
program-program kegiatannya.
2.
Kontribusi
Hasil
penelitian ini memberikan kontribusi terhadap peran Taman Bacaan masyarakat di
Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa betapa TBM-TBM yang ada memberikan peran
penting dan memberikan warna bagi keistimewaan yang selama ini diusung
Yogyakarta. Disamping itu, penelitian ini memberi kontribusi terhadap kepekaan
pemerintah dan instansi perpustakaan terkait untuk lebih bisa menyediakan
anggaran untuk penyelenggaraan TBM yang ada di DIY dan memberikan
pendampingan-pendampingan dalam pengelolaan Taman bacaan Masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ajip Rosidi. 1983. Pembina Minat Baca.
Surabaya : TP Bina Ilmu.
Amrin. 2011. Acuan Pengelolaan Taman Bacaan
Masyarakat. Medan : Pustaka.
Amrin. 2011.Cara Praktis Merintis Dan Mendirikan
Taman Bacaan Masyarakat. Bandung : Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah.
Bhea. 2004. Buku Perpustakaan perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Kanisius.
Busha, Charles H dan Stephen P. Harter. 1980. Research
Methods in Librarianship: Techniques and Interpretation. New York: Academi
Press.
Delly, Dadang. 2005. Strategi Dinas Pendidikan,
Dalam Meningkatkan Budaya Baca.Jakarta:s.a.
Direktorat Pendidikan Masyarakat. 2009. Taman
Bacaan Masyarakat: Pedoman Penyelenggaraan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Nonformal dan Informal: Departemen Pendidikan Nasional. Edisi ketigaNew York: The MacMillan Company.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. 2012. Petunjuk Teknis Pengajuan dan Pengelolaan Penyelenggarakan Keaksaraan Dasar,
Keaksaraan Usaha Mandiri, dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rintisan
(Dekosentrasi). Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat.
Hamid, Muhammad 2010. Taman
Bacaan Masyarakat Kreatif. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat.
Hananta, Basri. 2013. Buku Panduan Pengelolaan Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) Istimewa. Yogyakarta: Balai Pengembanagan Kegiatan Belajar
Yogyakarta
Haris, Chesyer W, dan Marie L. Liba. 1960. Encyclopedia of Educational.
Jakarta: Gramedi Pustaka Utama. Jawa Barat.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007
Tentang Perpustakaan
Jeannette Vos. 2003. Revolusi
Cara Belajar, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Johnson,
David. W. 1991. Learning together and alone. Boston: University
of Minnesoto.
Kalida,
Muhsin. 2012. Jogja TBM Kreatif:dilengkapi panduan pengelolaan TBM dan 6
profil TBM Kreatif di Yogyakarta. Yogyakarta: Forum TBM di Yogyakarta
Kalida,
Muhsin dan Moh. Mursyid. 2014. Gerakan Literasi:mencerdaskan bangsa.
Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Kompas,
2 Maret 2003. Kualitas pendidikan sangat menentukan masa depan bangsa.
Jakarta.
Mulyasa. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Perpustakaan Pola 3 Dimensi. Medan :
Pustaka TBM MRD Pustaka. Medan : TBM MRD
Rahmawati, Ratih dan Blasius Sudarsono.
2012. Perpustakaan untuk Rakyat. Jakarta: Sagung Seto.
Rohani, Ahmad. 1997. Fungsi
Sumber Belajar: Media Intruksional. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Bandung: Alfabeta.
[1] Dalam
Undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 4 ayat 5
[2] Dalam undang-undang
nomor 43 tahun 2007 tentang Perpusakaan
[3]
Hamengku Buwono X, 2013.
Arah Pembangunan DIY Dalam Perspektif Keistimewaan, Yogyakarta 29 Agustus 2013
[5] Dalam dokumen
Perencanaan BAPPEDA DIY tahun 2013. Yogyakarta: Bappeda, 2013
[6] Dalam
Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta:
Perpustakaan Nasional, 2007. Halaman 2
[7] Indonesia. 2012. Undang-undang RI Nomor
13 tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah istimewa Yogyakarta
[8] Dalam Hamengku Buwono X. 2013. Yogyakarta Menyongsong Peradaban
Baru (Perspektif Paska Disahkannya UU No 13 tahun 2012 tentang keistimewaan
DIY), Yogyakarta, 27 Desember 2012
[9] Dalam Undang-undang nomor 43 tahun 2007
tentang Perpustakaan, halaman 3.
[10]
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam pidato Rapat Paripurna DPRD DIY
tentang pemaparan visi, misi dan program kerja calon gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2012-2017 yang bertema Yogyakarta: Menyongsong Peradaban
Baru.
[11] Indonesia. 2012. Undang-undang RI Nomor
13 tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
[12] Hamengku Buwono X, 2013. Arah Pembangunan DIY dalam
Perspektif Keistimewaan, Yogyakarta
29 Agustus 2013
[13] Rekayasa menurut
KBBI diartikan sebagai penerapan kaidah-kaidah ilmu dalam pelaksanaan (seperti
perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan
sistem yang ekonomis dan efesien). Sementara kata budaya masih menurut sumber yang
sama diartikan sebagai pikiran; akal budi; hasil budaya.adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Berdasarkan pengertian di atas serta pendapat
Drewes, perpustakaan sebagai sebuah rekayasa budaya dapat diartikan sebagai
penerapan aturan-aturan keilmuan yang merupakan buah pikiran untuk
mempersiapkan, melindungi, memelihara dan kemudian menyebarluaskan koleksi
hasil budaya dengan perpustakaan sebagai pusatnya. Penerapan aturan keilmuan
tersebut diharapkan dapat mengembangkan peran dan fungsi perpustakaan sehingga
menjadi lebih optimal dan berdampak bagi masyarakat yang dilayaninya. Budaya itu adalah cipta rasa karsa yang mewarnai kehidupan kita,
bukan hanya sekedar tari ataupun seni. Menurut Fathur rahman (2011), ketika
kita membahas dialog budaya, maka akan ada 4 hal yang penting, yaitu (1)
fakta-fakta budaya (cultural facts),
(2) fenomena budaya (cultural phenomena),
pelestarian budaya (cultural maintenance)
dan rekayasa budaya (cultural
engineering). Fathurrahman mengatakan bahwa rekayasa budaya sering
terlupakan padahal Indonesia butuh terapi yang
sistematis untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Lebih lanjut Fahurrahman memberikan contoh
bahwa Malaysia, mengalami multikultur dan multietnik. Mereka sadar bahwa
hal itu harus ditangani dari berbagai perspektif. Jadi bisa dikatakan bahwa
rekayasa budaya ini dilakukan dalam usaha melakukan perubahan dan perbaikan
sesuatu dengan memberi peluang perbaikan melalui
pendekatan budaya. Perpustakan dalam perspektif budaya adalah membangun minat
baca yang merupakan bagian dari rekayasa budaya di perpustakaan. Perpustakaan
sebagai sebuah diskusi budaya, adalah membangun bagaimana sebuah rekayasa
dilakukan agar masyarakat bisa tertarik ‘membaca’ . Peran dan fungsi perpustakaan seiring dengan
perkembangan teknologi informasi dewasa ini menjadi lebih luas. Perpustakan
sekarang juga berperan dan berfungsi sebagai pusat budaya, agen budaya, dan
agen perubahan. Sebagai pusat budaya lokal tempat di mana perpustakaan tersebut
berada, perpustakaan dapat sebagai tempat berhimpunnya koleksi hasil-hasil
budaya yang telah dibukukan atau yang telah dikemas dalam bentuk digital. Untuk
dapat menghimpun koleksi tersebut, perpustakaan dapat bekerjasama dengan Dinas
Pendikan dan Kebudayaan. Sebagai agen budaya, perpustakaan dapat menjadi tempat
atau ajang untuk menunjukkan/memamerkan hasil budaya, misalnya sebagai tempat
pameran lukisan, pameran dolanan anak, dan lain sebagainya. Selain itu perpustakaan
juga dapat menjadi tempat bagi berkumpulnya para budayawan dalam acara-acara
budaya tertentu, misal sebagai tempat seminar bertemakan budaya. Dalam
menjunjang peran dan fungsi sebagai agen budaya tersebut, perpustakaan menjalin
kerjasama dengan museum, para seniman dan para budayawan, baik lokal maupun
nasional. Peran dan fungsi
perpustakaan sebagai pusat budaya dan agen budaya tersebut diharapkan dapat
memberi pengaruh bagi masyarakat setempat. Oleh karena mudahnya masyarakat
dalam mengakses dan mengenal kebudayaan itulah diharapkan kemudian akan
memahami dan akhirnya melestarikan hasil budaya (nguri-uri kabudayan).
[14] Kuswasyantyo.
2014. “Yogya Perlu Lakukan
Rekayasa Budaya ”. Kedaulatan Rakyat, Rabu Paing 19 November 2014, halaman 9. http://202.65.121.186/read/237907/yogya-perlu-lakukan-rekayasa-budaya.kr ,
di unduh tanggal 25 November 2014.
[15] Ibid,
pasal 2 ayat 1.
[16]
Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1993. Halaman 46.
[17]
Sutarno. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta, Sagung Seto., halaman
127.
[18]
Menurut Buku Pedoman Penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat, 2006,
halaman 6.
[19]
Menurut Sutarno NS dalam Satu Abad
Kebangkitan Nasional 1908-2008 Dan Kebangkitan Perpustakaan.
Jakarta: Sagung Seto, 2006, halaman 19.
[20]Rahmawati, Ratih dan Blasius Sudarsono.
2012. Perpustakaan untuk Rakyat. Jakarta: Sagung Seto, halaman 31.
[21]
dalam Rahmawati (2012:31).
[22] Ibid.halaman
34-36.
[24] Dalam Amrin. Cara Praktis Merintis Dan
Mendirikan Taman Bacaan Masyarakat. Bandung: IPI, halaman 4
[25] Perpustakaan Umum (public library) menurut Reitz (2004)
adalah ”A library or library system that provides unrestricted acces and
services free of change to all the resident of a given community, distric, or
goegraphic region, supported wholly or in part by publics funds”.
[27]
Menurut Sutarno NS dalam Satu Abad
Kebangkitan Nasional 1908-2008 Dan Kebangkitan Perpustakaan. Jakarta:
Sagung Seto, 2006, halaman 19.
[28] Direktorat Pendidikan Masyarakat. 2009. Taman
Bacaan Masyarakat: Pedoman Penyelenggaraan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Nonformal dan Informal: Departemen Pendidikan Nasional. Edisi ketigaNew York: The MacMillan Company.
[29]
Bungin. Dalam Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Public
Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2007, halaman 68.
[30] Busha, Charles H dan
Stephen P. Harter. Research Methods in Librarianship: Techniques and
Interpretation. New York: Academi Press, halaman 77-80.
[31] Dokumentasi
BPAD tahun 2014.
[32]
Menurut Lofland dan Lofland dalam Moleong, Lexy J. Metodologi Kualitaif.
Bandung: Remaja Rosdakarya,2006, halaman 157 .
[33] Ibid.
Menurut Moleong, halaman 247.
[34]
Miles dan Huberman. Qualitative Data Analysis. California: Sage, 1994,
halaman 388.
No comments:
Post a Comment